Cerpen: Jangan Minta Tolong Kepadaku

 

JANGAN MINTA TOLONG KEPADAKU         

 





            Aku mengusap dahiku dengan lap kain yang juga sering aku gunakan untuk membersihkan sepatu pelangganku. Pekerjaanku belum selesai, aku masih menjarit ujung sepatu pantofel. Selama tiga tahun aku bekerja aku tahu pantofel ini adalah sepatu yang bisa ditemukan di pasar-pasar. Aku bisa menilai kualitas pelangganku dari sepatunya. Dia duduk sambil memeriksa map merahnya. Dia tidak memperdulikan aku. Tepatnya kita tidak saling peduli.

            Dunia memang tidak peduli apalagi kau hanya seorang tukang sol sepatu. Kita terhubung karena kepentingan, kita bertalian karena factor keuntungan. Tidak ada kebaikan yang serta merta, semua ada motifnya. Begitu juga dengan baliho yang berjajar di pinggir jalanan, di perempatan, di tempat dimana mata kita terpaksa memandang. Semua menceritakan prestasinya, kebaikannya yang tentu saja ada motivasinya.

            Lelaki itu menyerahkan uang lima belas ribu rupiah. Aku bilang kurang, tarifku lima puluh ribu rupiah. Dia menggaruk kepalanya. Dia kekurangan uang. Dibuka dompet, saku, selipan di tasnya tetap tidak ada. Lucu, hiburan gratis. Aku meninggalkannya, hiburan itu cukup untuk membayar sisa kerja kerasku. Dia berteriak terima kasih. “Nanti kau juga akan melupakannya.” Sahutku ketus.

            Jalanan masih basah, bau-bau comberan masih aku cium. Aku menuju taman kota, tempat kerumunan manusia masih tersisa. Aku masih menghitung targetku. Sekedar lima ribu rupiah tidak bisa menghidupi kami. Ya, kami. Aku dan nenekku tepatnya. Sejak tiga tahun itu dia jatuh sakit. TBC-nya main parah. Sejak itulah aku menjadi kepala keluarga di usia delapan tahun.

            Aku lihat jamur di sela-sela sampah got. Begitulah hidup kami. Kami berpindah dari satu tempat ke tempat yang. Berlari dari kejaran satpol PP. Kata pemerintah fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara. Bohong. Kami tinggal di samping kuburan di gubuk yang ditinggal orangnya entah kemana. Ada gerobak sampah juga yang kami sulap menjadi gerobak sayur. Nenekku penjual sayur, berkeliling menyusuri kota ini dengan sisa tenaganya. Kota ini masih terlalu kejam bagi tubuhnya. Dia rubuh dengan TBC, dengan obat-obatan yang kadang tidak bisa terbeli karena penghasilanku kurang.

            Di balik pohon beringin ini. Aku menaruh tas kayu tempat peralatan sol juga jadi tempat dudukku. Tempat ini adalah tempat strategisku jauh dari pengamatan satpol PP, karenanya tempat ini juga dihuni oleh jamur yang sama denganku. Pedagang tisu keliling. Kita seumuran, setidaknya cukup melegakan aku atas harapan untuk bersekolah. Di taman kota ini aku sering melihat siswa yang berlalu Lalang. Bersyukur juga aku sempat merasakan bangku sekolah ketika itu Ayah masih hidup.

            Ayah bekerja di pabrik rokok, sebagai petugas pengemas tembakau. Hidup terasa indah waktu itu aku dan nenek tinggal di rumah yang sudah disediakan pabrik. Ayah adalah manusia naif, dia terlalu suka mencampuri urusan orang lain. Itulah yang membuat hidup kami menjadi neraka. Ayah memimpin demo menuntut adanya jaminan biaya bagi keluarga pegawai. Ada pegawai yang meninggal akibat kecelakaan di pabrik. Namun pabrik tidak mau memberikan santunan apa pun kepada keluarga korban.

            Pendemo itu dipecat, akibatnya ayahku dimusuhi oleh teman-temannya. Ayah dipukul hingga lama dirawat di rumah sakit. Uang tabungannya habis, aku putus sekolah, diusir juga dari rumahku. Sejak itu aku menaruh kekecewaan atas ayahku. Sejak saat itu juga aku berhenti percaya pada kebaikan. Tidak ada kebaikan, hanya transaksi untung rugi.

            Aku berjanji untuk tidak minta tolong kepada siapa pun. Kata tolong itu sudah habis ketika ayah dirawat di rumah sakit. Aku minta tolong kepada rumah sakit, kepada teman ayahku, kepada siapa pun yang aku lihat. Suaraku serak, suaraku habis tak aku dapatkan kata tolong itu. Kata itu sudah musnah dari kosakata manusia.

            Sudah sepuluh pelanggan aku dapatkan siang ini. Enam pelanggan minta sol sepatu dan empat pelanggan minta disemir sepatunya. Mungkin lelaki kurus tadi pagi mendatangkan hoki untukku. Targetku sudah terpenuhi, aku mau membelikan nasi kesukaan nenekku. Aku menuju warung nasi pecel aku pesan dua porsi. Aku menyerahkan dua puluh ribu tanpa minta kembalian. Semoga kembaliannya berganti dengan pelanggan yang tambah banyak. Lama-lama aku sama saja dengan politisi ya.  Aku terkekeh.

            Langkahku ringan menuju rumahku. Nenek menyambutku. Aku julurkan nasi pecel. Kita makan bersama dengan lahap. Seiring itu keluarlah semua celotehanku. Diantara miliaran manusia aku hanya percaya nenekku. Manusia yang tidak kenal menyerah. Di sela-sela sakitnya dia masih bekerja dia pintar merajut. Rompi hangat yang aku pakai ini adalah buatan tangannya.

            “Nek, obatnya nenek taruh dimana?” Aku meraba-raba bungkusan di atas lemari baju. Aku biasa menaruh obat di sana tetapi kali ini tidak ketemu.

            “Nenek, obatnya sudah habis ya? Kan Divo bilang. Kalau obatnya habis kasih tahu Divo.” Aku menggerutu, mungkin sudah tiga hari nenek tidak minum obat. Apotek sangat jauh dari sini. Aku biasa membeli sambil bekerja.

            “Divo, uangnya ditabung saja. Nenek sudah tua.”

            Senyum nenek membuat wajahku hampa, tapi hatiku tersayat. Nenek tidak tahu betapa berharganya dia. Bagaimana hidupku nanti tanpa nenek. Ah, aku tidak mau memikirkannya.

            Aku sudah capek dengan dunia ini, aku merebahkan badanku. Aku ambil celengan di bawah ranjang. Aku taruh sebagian penghasilanku hari ini.

            “Nek, sini tidurkan Divo. Jangan mikirin sakitnya nenek. Divo tidak apa-apa kalau TBC juga.”

            Langit kelabu cukup menidurkan aku. Lumayan lelap tidurku. Badanku sudah siap aku ajak menyusuri jalanan ibu kota. Nenek menitip kain rajutannya kepada pengepul. Kotak kayu teman baikku aku ambil. Aku kalungkan tali karetnya ke leherku. Nenekku masih lelap, aku tidak pamitan.

            Rumahku cukup terpencil, aku menyusuri jalan tanah berkelak-kelok dan sepi. Jalanan akan ramai ketika ada upacara pemakaman. Jalanan ini juga tak tersentuh pembangunan desa. Bagus juga bagiku, jika ada perbaikan tentu keberadaanku diketahui. Selama ini aku hanya berlindung pada Pak Jiwo. Preman penguasa wilayah ini. Rumahnya ada di pertigaan setelah belokan ini. Hari ini aku singgah dulu ke sana. Memberi uang keamanan bulan ini serta cicilan untuk kotak semir ini.

            Kotak semir ini aku beli secara kredit dari Pak Jiwo, sudah hampir tiga tahun namun kredit itu belum juga lunas. Aku sama sekali tidak mendapat catatan pembayaranku. Setiap aku tanya, Pak Jiwo hanya bilang pinjamanku belum lunas. Kotak Semir bisa lunas tapi keterampilanku menyemir dan sol sepatu itu tidak akan pernah lunas. Ya, sekali lagi tidak ada yang gratis di dunia ini.

            Hujan rintik-rintik begini biasa mendatangkan rejeki untukku. Gedung bertingkat yang megah ini tentu diisi karyawan yang senantiasa ingin terlihat rapi. Aku sudah mendapat tiga pelanggan yang membersihkan sepatunya. Semoga semakin deras, gumamku sambil melihat langit. Semakin kotor sepatu orang semakin untung hidupku. Hari ini benar-benar hari peruntunganku.

            Aku pergi ke apotik, menyerahkan bungkus obat TBC nenekku. Beruntungnya aku bisa membelikan sekalian obat oksigen ketika nenekku sesak nafas. Ketika punya uang serasa aku bisa membeli segalanya. Aku tidak lupa menjulurkan uang untuk pengemis di samping apotek itu.

“Tidak usah mengucapkan terimakasih, aku tidak butuh itu,” ucapku.

Hidup memang ada suka dukanya, hujan ini memberiku rejeki. Hujan juga merepotkan langkahku pulang. Aku menerjang hujan dengan hati ringan. Obat nenekku aku genggam dengan bangga.

“Nenek, Divo pulang,” suaraku tak mendapat jawaban. Hujan deras menganggu suaraku. Mungkin nenek sedang di kamar. Benar, nenek sedang tidur. Aku membangunkannya, menggoyangkan badannya. Tidak ada respon. Aku panik. Aku tempel telinga di dadanya. Syukurlah, nenek tersadar.

Batuknya keras. Aku memberinya pipa oksigen. Aku membuatkannya bubur. Nenek terbangun aku suapkan bubur itu. Dia batuk, segera aku ambilkan minum. Aku ambilkan selimut rajutan nenek, aku selempangkan di badannya. Nenek makan sendiri buburnya.

Hujan deras, beberapa sudah masuk ke rumah. Aku menutup semua pintu dan jendela. Atap kami terbuat dari seng, suara hujan semakin deras. Sehingga kami harus berbicara sangat dekat.

“Nenek, sudah baikan kan? Divo khawatir sekali kalau nenek kenapa-kenapa.”

“Nenek, baik-baik saja Divo. Kamu tidur saja. Hujannya deras.”

Aku menuju kamar tidurku. Merebahkan badanku, hatiku teriris. Suara hujan hampir mirip suara raksasa yang menerkamku. Hidup tidak mengenal ampun. Aku mematikan lampu, berusaha untuk memanggil kantukku. Melupakan kepedihanku sesaat.

“Divo, Divo.” Nenek memanggilku. Aku terperanjat mengembalikan kesadaranku. Batuk nenek terdengar lebih keras. Aku segera menuju nenek. Nenek sudah terbujur di lantai. Badannya lemas, aku kesulitan mengangkatnya. Segera aku ambil oksigen.

“Divo, Divo sudah waktunya Divo,” nenekku meracau.

Segera aku keluar. Gerobak sayur nenek aku bongkar. Pintu belakangnya aku buka. Aku bawa ke kamar.

“Nek, bawa oksigen ini. Kita ke rumah sakit sekarang,” aku memapah nenekku menuju gerobak. Aku ambil celengan di bawah kasurku. Tidak lupa kotak semirku. Aku sisakan bagian atas gerobak sayur, supaya nenek tidak kehujanan.

Pandanganku benar-benar kabur. Air hujan masuk ke mulutku yang terengah-engah. Aku tarik gerobak, gagangnya karatan melukai tanganku. Air hujan mengaliri jalanan menjadikannya seperti sungai. Tidak ada yang aku pikirkan selain meraih rumah sakit segera.

Ayo, minta tolong. Katakan kata itu. Tolong. Kataku dalam hati. Tidak. Aku menolak pikiranku sendiri. Aku sudah bersumpah tidak akan minta tolong kepada siapa pun.

Mataku terhalang sinar lampu motor. Aku menghentikan gerobakku.

“Sini, saya bantu, Nak.”

“Tidak perlu.” Pungkasku.

“Rumah sakit jauh nak. Saya telepon ambulan. Saya satpam rumah sakit. Saya orang yang kamu bantu dulu.”

“Tidak usah. Tidak usah. Jangan bantu. Saya tahu tidak ada ketulusan di dunia ini. Saya tahu nanti anda minta balasan.” Aku teriak hingga aku tak sadarkan diri.

Aku sudah di rumah sakit. Nenekku terselamatkan, aku juga. Tanganku sudah berbalut perban. Satpam rumah sakit itu memberiku makan. Aku sedang di loket. Aku sudah membongkar celenganku. Uang yang rencananya aku pakai sekolah kejar paket. Tiga juta rupiah. Aku tidak yakin akan mencukupi. Nenek sudah membaik. Aku akan mempertaruhkan segala hidupku untuk nenek.

“Berapa biayanya, Bu.” Aku menyiapkan diri untuk mendengar nominal yang tentu di luar jangkauanku.

“Sudah Lunas.”

“Gimana, Bu?”

Biayanya sudah dilunasi oleh Dr. Tirta. Dia bilang dia mengenal nenekku. Dia adalah anak dari pegawai pabrik rokok yang meninggal ketika bekerja. Orang yang dibela oleh ayahku.

Ini pertama kali aku mengucapkan Terimakasih dengan tulus.

           

Postingan Populer