Generasi Stroberi, Salah Siapa?

 

Generasi Stroberi, Salah Siapa?


Foto: Kegiatan Pelaporan Hasil Belajar Siswa Tahun Pelajaran 2023/2024

 

            Saya merasa belum pantas menjadi wali di kelas XE. Hal ini saya rasakan ketika bertemu dengan salah satu murid saya yang memiliki masalah. Murid ini sering tidak masuk ke sekolah dengan berbagai macam alasan, ijin, sakit, dan terkadang tanpa keterangan. Terkait dengan kehadiran tanpa keterangan ini, saya sempat menanyakannya melalui pesan whatsapp. Saya tidak menelepon karena tidak ingin dia merasa takut. Jawabannya singkat, alasannaya karena tidak ada yang mengantar ke sekolah. Saya mengamati di kelas anak ini cenderung menutup diri, duduk di sisi kanan meja, berada di tengah barisan. Dia tidak akrab dengan teman di depan ataupun di belakangnya. Masalah ketidak hadiran ini sudah terdata di BK, ketika jumlahnya sudah tiga kali sesuai prosedur Wali Kelas dan BK mengunjungi anak ke rumahnya.

            Kejadian ini membuat saya teringat dengan istilah yang sering disematkan pada generasi sekarang, Generasi Stroberi. Tokoh yang pertama kali mencetuskan istilah Generasi Stroberi adalah ekonom dari Indonesia, Prof Rhenald Kasali. Menurut beliau generasi sekarang adalah generasi yang sangat kreatif sekaligus rapuh.layaknya Stroberi. Terlihat menarik di luar namun jika ditekan sedikit, buahnya akan rusak. Kecanggihan teknologi ditenggarai menjadi penyebab adanya generasi ini. Kemudahan segala bidang justru membuat generasi sekarang menjadi malas dan kurang memiliki inisiatif. Seperti singa di kebun binatang, segala kemudahan justru membuatnya kehilangan insting berburu.

            Sebenarnya masalah remaja tidak hanya terjadi sekarang, selain istilah Generasi Stroberi dahulu juga ada istilah Kenakalan Remaja. Jika Generasi Stroberi masalahnya cenderung pada kemalasan, keengganan, mudah menyerah, dan lekat dengan masalah mental. Kenakalan Remaja cenderung merupakan perilaku yang sulit dikontrol, merugikan diri sendiri dan orang lain. Kenakalan remaja sebenarnya terjadi juga di era sekarang, misalnya perkelahian, tawuran, mabuk-mabukan, seks bebas, dan narkoba. Hanya saja pemikir cenderung menyoroti perihal Generasi Stroberi dan mengaitkannya dengan isu kesehatan mental. Menurut WHO (World Health Organization) semenjak pandemi 2019 masalah kesehatan mental semakin melonjak. Satu dari dua orang atau setengah populasi manusia diperkirakan akan mengalami gangguan kesehatan mental.

            Terkait masalah yang dihadapi murid saya ini, saya jadi sedikit membenarkan adanya Generasi Stroberi tersebut. Si anak mengaku datang tidak ke sekolah karena ayahnya tidak bisa mengantar. Jika saya dalam posisi si anak tentu saja saya akan mencari solusi agar bisa ke sekolah, Misalnya boncengan dengan teman, naik ojek, ataupun jika terpaksa saya akan jalan kaki. Telat datang ke sekolah adalah hal yang menakutkan bagi saya, apalagi tidak masuk tanpa keterangan berkali-kali. Si anak ini biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa.  Pesan whatsapp cenderung pendek dan tidak ada respon balik. Saya amati juga anak ini tiga kali membuat status whatsapp yang mengungkapkan perasaannya. Dua status status cenderung positif karena menampilkan kolase foto selfie dan foto bersama teman-teman SMP. Satu status tentang kesedihan yang dialaminya, kalau tidak salah bunyinya seperti ini. “Ayah, Ibu tahukah kalian saya pernah seharian menahan lapar, karena tidak berani mengungkapkannya.”

            Saya melakukan kunjungan rumah bersama guru BK dan murid yang tahu rumah Si Anak. Saya sempat menanyakan kelas XE apakah mereka sempat membuat si anak tersinggung sehingga tidak masuk. Jawaban kelas XE kompak mengatakan tidak, mereka sudah berusaha mendekati si anak, namun si anak tidak mau berbaur. Perjalanan menuju Desa Depeha, rumah si anak lumayan jauh dengan jalanan yang tidak terlalu bagus. Saya menarik ucapanku akan berjalan kaki ke sekolah, jarak dan medannya tidak bersahabat. Berbeda dengan kampung saya di Gianyar jalanya mulus dan rata.

            Di rumahnya saya bertemu dengan ibunya yang sedang nonton tv. Si anak datang dari kamar dengan membawa gawai. Dari penuturan ibu menyatakan bahwa si anak memang malas, tidak mau berusaha mencari solusinya sendiri. Ayahnya kadang bekerja jauh jadi tidak sempat mengantar si anak. Sebenarnya ada teman satu sekolah yang bisa diajak boncengan, namun si anak tidak mau. “Tidak ada usaha, hanya sibuk dengan gawainya, malas tidak seperti kakaknya,” begitu kata Ibu. Si anak hanya diam, seperti memendam kesedihan. Guru Bk juga menyampaikan catatan lain yaitu Si Anak belum membayar SPP selama satu semester. Ibunya kembali menyalahkan anaknya, karena tidak pernah menyampaikan masalah itu kepada ibunya.

            Hasil kunjungan ini membuat saya semakin merasa gagal menjadi Wali kelas. Pertama saya menyesal sudah berpikir si anak seharusnya jalan kaki saja. Ternyata jarak rumah anak sangat jauh. Saya sempat melihatnya jalan kaki pulang sekolah, saya menawarkan bantuan dia menjawab jarak rumahnya dekat. Artinya dia pernah jalan kaki menuju rumahnya yang jauh. Kedua, saya gegabah melabeli anak ini malas dan tidak memiliki semangat juang. Saya membayangkan jika menjadi si anak, tentu saya akan merasa sakit karena sering disalahkan. Tidak diberi kesempatan bersuara, sering dibanding-bandingkan dengan saudara lainnya. Fenomena gunung es, saya hanya melihat sisi permukaan si anak, sementara ada bagian-bagian besar yang tidak terlihat.

            Bukan salah generasi Z yang lahir dalam era kemudahan teknologi. Kita tidak bisa sepenuhnya sepenuhnya melabeli Generasi Stroberi dengan label negative. Bukankah Stroberi adalah buah yang eksklusif hanya tumbuh di daerah tertentu dan berbuah di masa tertentu. Stroberi adalah buah yang menarik dengan kerapuhan mereka, mereka bisa topping dalam kue ulang tahun, atau menambah estetika hidangan mahal. Banyak juga gen z yang sukses dengan cara yang mudah misalnya dengan memanfaatkan keterampilan teknologi mereka. Sehingga orang dari generasi sebelumnya, akan bingung bagaimana mereka menghasilkan uang hanya dari kamar saja. Ngepet? Tidak mungkin. Gen Z adalah wajah bangsa kita kelak khususnya di tahun 2045 yang katanya akan jadi masa kejayaan karena adanya bonus demografi. Usia produktif lebih banyak dari yang non produktif. Hanya saja kesalahan kita adalah membebankan mereka tanggung jawab yang besar, sementara keseharian sering kita merendahkan kecakapan mereka. Tidak diberi ruang bicara, selalu disalahkan, dituntut. Atau jangan-jangan generasi Stroberi justru diciptakan oleh Orang Tua Stroberi, atau bahkan Guru Stroberi.

            Menurut Diane Gossen ada lima posisi kontrol yang bisa dilakukan oleh guru kepada muridnya. Posisi kontrol itu tak luput juga bisa dijalankan oleh orang tua. Adapun lima posisi kontrol itu meliputi: 1. Sebagai Penghukum, 2. Pembuat Rasa Bersalah, 3. Sebagai teman, 4. Sebagai pemantau dan 5. Sebagai manajer. Orang tua ataupun guru sebagai penghukum bisa memanfaatkan otoritasnya membuat anak merasa takut, tertekan psikisnya. Kekerasan tidak hanya bisa dilakukan secara fisik juga bisa berupa verbal yang justru lebih menyakitkan, menyebabkan kesehatan mental anak terganggu. Ingat kata pepatah “Lidah bisa lebih tajam daripada pedang.” Orang tua ataupun guru yang berperan sebagai pembuat rasa bersalah sejatinya sama saja bisa memicu sakit mental anak. Hanya saja peran pembuat rasa bersalah menggunakan pendekatan Playing Victim, orang tua atau guru memposisikan dirinya sebagai korban. Apalagi dibumbui dengan kata-kata, saya menyesal melahirkan anak seperti kamu, lihat saudaramu mereka tidak ada yang seperti kamu.

            Orang tua atau guru yang mengambil posisi sebagai teman lain lagi. Mereka cenderung membela anaknya atau murid. Orang tua yang pola asuhnya seperti ini akan memanjakan anaknya, disenggol sedikit maka orang tua akan marah. Seringkali kita melihat kasus orang tua yang membela anaknya karena tidak terima dengan perlakuan guru. Seringkali masalah ini berkembang ke kasus kepolisian atau pengadilan. Orang tua yang kasih sayangnya membabi buta kepada anaknya, justru membuat anak bermental lemah. Sedikit-sedikit minta tolong, mengadu, tidak memiliki semangat juang.

            Orang tua atau guru yang berperan sebagai pemantau sikapnya kebalikan dari peran sebagai teman. Orang tua atau guru ini hanya berpedoman pada aturan yang disepakati, tidak ada toleransi diibaratkan seperti mesin yang tidak punya kasih sayang. Anak yang tumbuh dari peran ini mungkin adalah anak yang taat, tertib, tapi jiwanya kering karena tidak mendapat cinta dan kasih sayang.

            Apapun yang terjadi tidak pernah luput dari sebab dan akibat. Murid saya ini adalah akibat dari pola kontrol orang tua atau pun guru. Dia terlihat murung, malas, pemalu adalah label yang kita sematkan sendiri tanpa pernah menelusuri sudut pandang si anak. Saya mencoba untuk mendekati dunia anak ini, saya menunjukkan simpati pada status whatsapp dengan emoji “orang menangis.” Setiap bertemu di sekolah saya tersenyum dan mengucapkan kata “semangat”. Perlahan si anak mulai percaya dengan saya. “Jika kamu tidak menemukan “rumahmu” di rumah, carilah rumahmu di sekolah ini. Temukan teman yang kamu rasakan cocok, jadikan dia saudara.” Perlahan saya menemukan kemajuan dalam anak ini, walaupun pelan saya anggap itu prestasi. Setidaknya dia sudah memiliki seorang teman. Kalau boleh jujur anak ini tidak seperti yang orang tuanya kira. Nilai di mata pelajaran yang saya ampu, nilainya cukup tinggi. Walau dia jarang ke sekolah dia bisa mengikuti materi yang saya ajarkan. Saya melihat anak ini punya potensi dalam bidang ekonomi, walau nilai ekonominya cenderung kecil. Saya melihat semangat di matanya ketika mengikuti projek P5 yang menggelar “Market Day.”

 


Foto: Projek P5 XE Market Day

            Pelaporan hasil belajar di SMA Negeri Bali Mandara menerapkan Three Ways Conference atau Konferensi Tiga Arah. Konferensi Tiga Arah atau KTA ini mempertemukan tiga pihak yaitu Wali Kelas, Orang Tua, dan Siswa. Dalam kegiatan ini saya melihat adanya kecocokan dengan peran kontrol guru sebagai manajer. Kami duduk lesehan menandakan kami setara, kita tidak lebih tinggi atau lebih rendah. Wali Kelas, Orang Tua dan Murid adalah manusia yang terus belajar karena baik menjadi Guru, Orang Tua ataupun murid sesungguhnya sama-sama berat. Murid melakukan refleksi terhadap hasil belajar mereka kemudian mereka menulis cita-cita dan target mereka selama enam bulan ke depan. Kegiatan refleksi dilakukan melalui analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Oppurtunitis, and Threaths). Target yang disusun untuk mencapai cita-cita dianalisis dengan metode SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, and Time Bound).

            Melalui Konferensi Tiga Arah saya dan orang tua murid benar-benar perlu belajar mendengar apa yang murid sampaikan. Mungkin selama ini saya ataupun orang tua tidak memberikan ruang untuk mereka berbicara. Beberapa murid terlihat melawan kecanggungan dan rasa kurang percayanya. Orang tua pun beberapa terlihat masih berjarak dengan anaknya, menandakan begitulah pola hubungan mereka di rumah. Saya memberi penguatan bahwa murid harus berani menyuarakan apa yang mereka anggap baik. Orang tua harus meninggalkan pola pemikiran lama, orang tua selalu benar, melawan orang tua bisa durhaka. Semua itu sebenarnya ilusi kontrol seperti yang disampaikan William Glaser.

Foto: Konfrensi Tiga Arah

            Dimana kah anak kecil kurus itu? Anak yang awalnya saya cap manja karena tidak mau jalan kaki. Hingga saya sadar jarak rumahnya begitu jauh dan terjal seperti jalan hidupnya. Saya merasa gagal menjadi Wali Kelas. Dia tidak masuk hari ini, melalui pesan whatssapp dia mengaku sakit. Konfrensi Tiga Arah belum lengkap, artikel ini pun belum rampung, jadi tanggung. Seperti itulah tugas seorang guru, “Selama ada murid, selama itu tugas guru belum rampung.”

            Kabar baiknya malam ini saya mendapat pesan whatsapp darinya. Kondisinya sudah membaik, panas badan dan pusing kepalanya sudah mereda. Saya iseng bertanya apa cita-citanya? Dia menjawab ingin bekerja di pariwisata, dia mengambil mata pelajaran pilihan Bahasa. Haa, mengapa tidak memilih ekonomi. Jawaban si anak, membuat artikel saya tidak keren. Karena saya sudah berasumsi dia akan mengambil jurusan IPS, menjadi enterprenuer. Analisis saya meleset jauh. Sepertinya, saya harus merestitusi diri sendiri hehe.

          Oleh: I Nyoman Sutarjana

CGP Angkatan 10 Kabupaten Buleleng

 

Postingan Populer