Generasi Stroberi, Salah Siapa?
Generasi Stroberi, Salah Siapa?
Saya merasa belum pantas menjadi
wali di kelas XE. Hal ini saya rasakan ketika bertemu dengan salah satu murid
saya yang memiliki masalah. Murid ini sering tidak masuk ke sekolah dengan berbagai
macam alasan, ijin, sakit, dan terkadang tanpa keterangan. Terkait dengan
kehadiran tanpa keterangan ini, saya sempat menanyakannya melalui pesan whatsapp.
Saya tidak menelepon karena tidak ingin dia merasa takut. Jawabannya singkat, alasannaya
karena tidak ada yang mengantar ke sekolah. Saya mengamati di kelas anak ini
cenderung menutup diri, duduk di sisi kanan meja, berada di tengah barisan. Dia
tidak akrab dengan teman di depan ataupun di belakangnya. Masalah ketidak
hadiran ini sudah terdata di BK, ketika jumlahnya sudah tiga kali sesuai
prosedur Wali Kelas dan BK mengunjungi anak ke rumahnya.
Kejadian ini membuat saya teringat
dengan istilah yang sering disematkan pada generasi sekarang, Generasi Stroberi.
Tokoh yang pertama kali mencetuskan istilah Generasi Stroberi adalah ekonom dari
Indonesia, Prof Rhenald Kasali. Menurut beliau generasi sekarang adalah
generasi yang sangat kreatif sekaligus rapuh.layaknya Stroberi. Terlihat
menarik di luar namun jika ditekan sedikit, buahnya akan rusak. Kecanggihan
teknologi ditenggarai menjadi penyebab adanya generasi ini. Kemudahan segala bidang
justru membuat generasi sekarang menjadi malas dan kurang memiliki inisiatif.
Seperti singa di kebun binatang, segala kemudahan justru membuatnya kehilangan
insting berburu.
Sebenarnya masalah remaja tidak
hanya terjadi sekarang, selain istilah Generasi Stroberi dahulu juga ada istilah Kenakalan
Remaja. Jika Generasi Stroberi masalahnya cenderung pada kemalasan, keengganan,
mudah menyerah, dan lekat dengan masalah mental. Kenakalan Remaja cenderung
merupakan perilaku yang sulit dikontrol, merugikan diri sendiri dan orang lain.
Kenakalan remaja sebenarnya terjadi juga di era sekarang, misalnya perkelahian,
tawuran, mabuk-mabukan, seks bebas, dan narkoba. Hanya saja pemikir cenderung
menyoroti perihal Generasi Stroberi dan mengaitkannya dengan isu kesehatan
mental. Menurut WHO (World Health Organization) semenjak pandemi 2019 masalah
kesehatan mental semakin melonjak. Satu dari dua orang atau setengah populasi
manusia diperkirakan akan mengalami gangguan kesehatan mental.
Terkait masalah yang dihadapi murid
saya ini, saya jadi sedikit membenarkan adanya Generasi Stroberi tersebut. Si
anak mengaku datang tidak ke sekolah karena ayahnya tidak bisa mengantar. Jika saya
dalam posisi si anak tentu saja saya akan mencari solusi agar bisa ke sekolah, Misalnya
boncengan dengan teman, naik ojek, ataupun jika terpaksa saya akan jalan kaki.
Telat datang ke sekolah adalah hal yang menakutkan bagi saya, apalagi tidak
masuk tanpa keterangan berkali-kali. Si anak ini biasa saja, seperti tidak
terjadi apa-apa. Pesan whatsapp
cenderung pendek dan tidak ada respon balik. Saya amati juga anak ini tiga kali
membuat status whatsapp yang mengungkapkan perasaannya. Dua status
status cenderung positif karena menampilkan kolase foto selfie dan foto bersama
teman-teman SMP. Satu status tentang kesedihan yang dialaminya, kalau tidak
salah bunyinya seperti ini. “Ayah, Ibu tahukah kalian saya pernah seharian
menahan lapar, karena tidak berani mengungkapkannya.”
Saya melakukan kunjungan rumah
bersama guru BK dan murid yang tahu rumah Si Anak. Saya sempat menanyakan kelas
XE apakah mereka sempat membuat si anak tersinggung sehingga tidak masuk.
Jawaban kelas XE kompak mengatakan tidak, mereka sudah berusaha mendekati si
anak, namun si anak tidak mau berbaur. Perjalanan menuju Desa Depeha, rumah si
anak lumayan jauh dengan jalanan yang tidak terlalu bagus. Saya menarik
ucapanku akan berjalan kaki ke sekolah, jarak dan medannya tidak bersahabat. Berbeda
dengan kampung saya di Gianyar jalanya mulus dan rata.
Di rumahnya saya bertemu dengan ibunya
yang sedang nonton tv. Si anak datang dari kamar dengan membawa gawai. Dari
penuturan ibu menyatakan bahwa si anak memang malas, tidak mau berusaha mencari
solusinya sendiri. Ayahnya kadang bekerja jauh jadi tidak sempat mengantar si
anak. Sebenarnya ada teman satu sekolah yang bisa diajak boncengan, namun si
anak tidak mau. “Tidak ada usaha, hanya sibuk dengan gawainya, malas tidak
seperti kakaknya,” begitu kata Ibu. Si anak hanya diam, seperti memendam
kesedihan. Guru Bk juga menyampaikan catatan lain yaitu Si Anak belum membayar
SPP selama satu semester. Ibunya kembali menyalahkan anaknya, karena tidak
pernah menyampaikan masalah itu kepada ibunya.
Hasil kunjungan ini membuat saya
semakin merasa gagal menjadi Wali kelas. Pertama saya menyesal sudah berpikir
si anak seharusnya jalan kaki saja. Ternyata jarak rumah anak sangat jauh. Saya
sempat melihatnya jalan kaki pulang sekolah, saya menawarkan bantuan dia
menjawab jarak rumahnya dekat. Artinya dia pernah jalan kaki menuju rumahnya
yang jauh. Kedua, saya gegabah melabeli anak ini malas dan tidak memiliki
semangat juang. Saya membayangkan jika menjadi si anak, tentu saya akan merasa
sakit karena sering disalahkan. Tidak diberi kesempatan bersuara, sering
dibanding-bandingkan dengan saudara lainnya. Fenomena gunung es, saya hanya
melihat sisi permukaan si anak, sementara ada bagian-bagian besar yang tidak
terlihat.
Bukan salah generasi Z yang lahir
dalam era kemudahan teknologi. Kita tidak bisa sepenuhnya sepenuhnya melabeli
Generasi Stroberi dengan label negative. Bukankah Stroberi adalah buah yang
eksklusif hanya tumbuh di daerah tertentu dan berbuah di masa tertentu. Stroberi
adalah buah yang menarik dengan kerapuhan mereka, mereka bisa topping dalam kue
ulang tahun, atau menambah estetika hidangan mahal. Banyak juga gen z yang
sukses dengan cara yang mudah misalnya dengan memanfaatkan keterampilan
teknologi mereka. Sehingga orang dari generasi sebelumnya, akan bingung
bagaimana mereka menghasilkan uang hanya dari kamar saja. Ngepet? Tidak
mungkin. Gen Z adalah wajah bangsa kita kelak khususnya di tahun 2045 yang
katanya akan jadi masa kejayaan karena adanya bonus demografi. Usia produktif
lebih banyak dari yang non produktif. Hanya saja kesalahan kita adalah
membebankan mereka tanggung jawab yang besar, sementara keseharian sering kita
merendahkan kecakapan mereka. Tidak diberi ruang bicara, selalu disalahkan,
dituntut. Atau jangan-jangan generasi Stroberi justru diciptakan oleh Orang Tua
Stroberi, atau bahkan Guru Stroberi.
Menurut Diane Gossen ada lima posisi
kontrol yang bisa dilakukan oleh guru kepada muridnya. Posisi kontrol itu tak
luput juga bisa dijalankan oleh orang tua. Adapun lima posisi kontrol itu
meliputi: 1. Sebagai Penghukum, 2. Pembuat Rasa Bersalah, 3. Sebagai teman, 4.
Sebagai pemantau dan 5. Sebagai manajer. Orang tua ataupun guru sebagai
penghukum bisa memanfaatkan otoritasnya membuat anak merasa takut, tertekan
psikisnya. Kekerasan tidak hanya bisa dilakukan secara fisik juga bisa berupa
verbal yang justru lebih menyakitkan, menyebabkan kesehatan mental anak
terganggu. Ingat kata pepatah “Lidah bisa lebih tajam daripada pedang.” Orang
tua ataupun guru yang berperan sebagai pembuat rasa bersalah sejatinya sama
saja bisa memicu sakit mental anak. Hanya saja peran pembuat rasa bersalah
menggunakan pendekatan Playing Victim, orang tua atau guru memposisikan
dirinya sebagai korban. Apalagi dibumbui dengan kata-kata, saya menyesal
melahirkan anak seperti kamu, lihat saudaramu mereka tidak ada yang seperti
kamu.
Orang tua atau guru yang mengambil
posisi sebagai teman lain lagi. Mereka cenderung membela anaknya atau murid.
Orang tua yang pola asuhnya seperti ini akan memanjakan anaknya, disenggol
sedikit maka orang tua akan marah. Seringkali kita melihat kasus orang tua yang
membela anaknya karena tidak terima dengan perlakuan guru. Seringkali masalah
ini berkembang ke kasus kepolisian atau pengadilan. Orang tua yang kasih
sayangnya membabi buta kepada anaknya, justru membuat anak bermental lemah.
Sedikit-sedikit minta tolong, mengadu, tidak memiliki semangat juang.
Orang tua atau guru yang berperan
sebagai pemantau sikapnya kebalikan dari peran sebagai teman. Orang tua atau
guru ini hanya berpedoman pada aturan yang disepakati, tidak ada toleransi
diibaratkan seperti mesin yang tidak punya kasih sayang. Anak yang tumbuh dari
peran ini mungkin adalah anak yang taat, tertib, tapi jiwanya kering karena
tidak mendapat cinta dan kasih sayang.
Apapun yang terjadi tidak pernah
luput dari sebab dan akibat. Murid saya ini adalah akibat dari pola kontrol
orang tua atau pun guru. Dia terlihat murung, malas, pemalu adalah label yang
kita sematkan sendiri tanpa pernah menelusuri sudut pandang si anak. Saya
mencoba untuk mendekati dunia anak ini, saya menunjukkan simpati pada status whatsapp
dengan emoji “orang menangis.” Setiap bertemu di sekolah saya tersenyum
dan mengucapkan kata “semangat”. Perlahan si anak mulai percaya dengan saya.
“Jika kamu tidak menemukan “rumahmu” di rumah, carilah rumahmu di sekolah ini.
Temukan teman yang kamu rasakan cocok, jadikan dia saudara.” Perlahan saya
menemukan kemajuan dalam anak ini, walaupun pelan saya anggap itu prestasi.
Setidaknya dia sudah memiliki seorang teman. Kalau boleh jujur anak ini tidak
seperti yang orang tuanya kira. Nilai di mata pelajaran yang saya ampu,
nilainya cukup tinggi. Walau dia jarang ke sekolah dia bisa mengikuti materi
yang saya ajarkan. Saya melihat anak ini punya potensi dalam bidang ekonomi,
walau nilai ekonominya cenderung kecil. Saya melihat semangat di matanya ketika
mengikuti projek P5 yang menggelar “Market Day.”
Foto: Projek P5 XE Market Day
Pelaporan hasil belajar di SMA
Negeri Bali Mandara menerapkan Three Ways Conference atau Konferensi
Tiga Arah. Konferensi Tiga Arah atau KTA ini mempertemukan tiga pihak yaitu
Wali Kelas, Orang Tua, dan Siswa. Dalam kegiatan ini saya melihat adanya
kecocokan dengan peran kontrol guru sebagai manajer. Kami duduk lesehan menandakan
kami setara, kita tidak lebih tinggi atau lebih rendah. Wali Kelas, Orang Tua
dan Murid adalah manusia yang terus belajar karena baik menjadi Guru, Orang Tua
ataupun murid sesungguhnya sama-sama berat. Murid melakukan refleksi terhadap
hasil belajar mereka kemudian mereka menulis cita-cita dan target mereka selama
enam bulan ke depan. Kegiatan refleksi dilakukan melalui analisis SWOT (Strengths,
Weaknesses, Oppurtunitis, and Threaths). Target yang disusun untuk mencapai
cita-cita dianalisis dengan metode SMART (Specific, Measurable, Achievable,
Relevant, and Time Bound).
Melalui Konferensi Tiga Arah saya
dan orang tua murid benar-benar perlu belajar mendengar apa yang murid sampaikan.
Mungkin selama ini saya ataupun orang tua tidak memberikan ruang untuk mereka
berbicara. Beberapa murid terlihat melawan kecanggungan dan rasa kurang percayanya.
Orang tua pun beberapa terlihat masih berjarak dengan anaknya, menandakan
begitulah pola hubungan mereka di rumah. Saya memberi penguatan bahwa murid
harus berani menyuarakan apa yang mereka anggap baik. Orang tua harus
meninggalkan pola pemikiran lama, orang tua selalu benar, melawan orang tua
bisa durhaka. Semua itu sebenarnya ilusi kontrol seperti yang disampaikan
William Glaser.
Foto: Konfrensi Tiga Arah
Dimana kah anak kecil kurus itu? Anak
yang awalnya saya cap manja karena tidak mau jalan kaki. Hingga saya sadar
jarak rumahnya begitu jauh dan terjal seperti jalan hidupnya. Saya merasa gagal
menjadi Wali Kelas. Dia tidak masuk hari ini, melalui pesan whatssapp
dia mengaku sakit. Konfrensi Tiga Arah belum lengkap, artikel ini pun belum
rampung, jadi tanggung. Seperti itulah tugas seorang guru, “Selama ada murid, selama
itu tugas guru belum rampung.”
Kabar baiknya malam ini saya
mendapat pesan whatsapp darinya. Kondisinya sudah membaik, panas badan
dan pusing kepalanya sudah mereda. Saya iseng bertanya apa cita-citanya? Dia
menjawab ingin bekerja di pariwisata, dia mengambil mata pelajaran pilihan Bahasa.
Haa, mengapa tidak memilih ekonomi. Jawaban si anak, membuat artikel saya tidak
keren. Karena saya sudah berasumsi dia akan mengambil jurusan IPS, menjadi enterprenuer.
Analisis saya meleset jauh. Sepertinya, saya harus merestitusi diri sendiri
hehe.
Oleh: I Nyoman Sutarjana
CGP Angkatan 10 Kabupaten Buleleng