Dongeng : Kebo Taruna

Kebo Taruna

 


Demi Teman

Pohon mangga ini sangat tinggi dan banyak semutnya. Aku memetik mangga yang baru matang. Teman-temanku menunggu di bawah, menangkap mangga.

Mereka sudah minta izin kepada pemilik mangga ini. Aku senang melakukan semua perintah temanku. Dengan begitu aku bisa menjadi teman mereka.

Aku senang memanjat pohon rasanya sangat tenang. Merasakan udara segar dan melihat pemandangan luas.

“Hai, Kebo Taruna. Anak nakal. Turun kamu!”

Suara itu mengagetkanku. Bapak-bapak yang mengacungkan tongkat kayu. Teman-temanku sudah hilang meninggalkanku sendiri.

Aku diajak pulang oleh Bapak itu. Dia akan mengadukan kesalahanku kepada orang tuaku.

“Karang, anakmu mencuri mangga saya. Semoga dia sadar dengan kesalahannya,” kata bapak itu kepada ayahku.

“Maaf, Pak Pasek. Ini kesalahan saya juga. Tidak bisa mendidik anak. Taruna, coba ceritakan kejadiannya!” perintah Ayah.

“Saya ingin makan buah mangga. Saya memetiknya tanpa minta ijin,” saya berbohong.

“Maafkan saya, Pak. Saya salah,” sambungku.

Aku berbaring di tempat tidur. Ibuku datang membawa makanan untukku.

“Taruna, makan dulu. Ibu dan Ayah tidak marah. Kamu sudah minta maaf,” Ibu mengelus kepalaku.

“Ibu, mengapa saya diberi nama Kebo? Saya tidak suka kerbau, dia binatang yang bodoh,” kataku menahan tangis.

“Nak, kerbau itu binatang yang banyak jasanya untuk petani. Kerbau itu kuat, suka menolong seperti kamu.”

Ibu selalu bisa menghiburku. Aku makan dengan lahap kemudian tertidur.

 ***

Pulang sekolah aku menemui teman-temanku.

“Mengapa kalian meninggalkanku kemarin?”

“Pak Pasek datang, kami melarikan diri. Kamu kan kuat, pasti bisa mengatasinya.”

“Saya merasa bersalah dengan kedua orang tuaku,” Aku menunduk.

“Sebagai teman yang baik kamu harus rela berkorban. Taruna, ingin menjadi teman kami bukan?”

“Iya,” Aku tersenyum.

“Tolong carikan kami madu di pohon dekat Sungai Pakerisan ya!”

“Baik, akan saya carikan. Saya senang bermain di Sungai Pakerisan.”

“Begitu baru teman namanya!” Teman-teman memelukku.

Mereka adalah teman baikku. Pande, Wira, dan Giri. Kami adalah anak-anak dari Kerajaan Bedahulu.

Aku berbeda dengan teman-teman sekelasku. Umurku 12 tahun tapi badanku tinggi besar. Sudah dua kali aku tinggal kelas.

Aku belum lancar membaca dan menulis. Teman-teman menolongku mengerjakan tugas. Sebagai gantinya aku membantu mereka dengan fisikku.

Sarang lebah yang ditujukan temanku sangat besar. Aku naik sambil membawa obor dari daun kelapa tua.

 “Ayo, semangat Taruna. Kamu bisa!” Teman-temanku berteriak dari bawah pohon.

Ternyata di luar dugaanku. Api oborku mengecil karena pohonnya sangat tinggi. Lebah-lebah hanya sedikit yang kabur.

Lebah-lebah lain menyerangku. Aku terjatuh lebah-lebah masih menyengat seluruh badanku.

Teman-temanku sudah tidak ada. Mereka pergi meninggalkanku yang tidak bisa bergerak.

 

Aku Melawan

 

“Nak, kamu sudah bangun?” Suara halus dari kakek yang berpakaian serba putih.

“Maaf, Kek perkenalkan nama saya Kebo Taruna. Saya ada dimana sekarang?”

“Kamu berada di pasramanku, Namaku Ki Soma Kepakisan. Kakek berasal dari Majapahit.”

“Terimakasih, Kek. Sudah menolong saya. Saya mau pulang, ibu pasti menunggu,” Aku berusaha bangkit.

Tubuhku masih belum pulih. Sekujur badanku bengkak. Aku belum bisa pulang.

Pasraman atau sekolah Ki Soma Kepakisan berada di hulu Sungai Pakerisan.

Siswa-siswanya sedang membuat proyek membangun tempat suci. Raja Bedahulu akan membuat candi di Gunung Kawi.

Ki Soma Kepakisan tertarik mengajariku seni bangunan.

“Nak, kamu punya bakat menjadi undagi. Kakek yakin kamu akan menjadi undagi hebat.”

“Terimakasih pujiannya, Kek. Saya sudah dua kali tinggal kelas, Kek. Teman-teman sering mengejek,” Aku menunduk.

“Kamu hanya perlu percaya dengan dirimu, Nak,” Kakek menyentuh dadaku.

Ki Soma Kepakisan melepas kepergianku. Tiga hari di pasraman memberiku banyak ilmu.

Aku pulang dengan semangat baru. Teman-temanku harus melihat kehebatanku sekarang.

Ibuku menangis meraba-raba kepala dan pundakku.

“Syukur kamu selamat, Nak. Setelah teman-temanmu memberi kabar. Kami langsung mencarimu,” Ibuku menangis.

“Aku merasa jauh lebih baik, Bu. Aku ditolong oleh Ki Soma Kepakisan undagi di Gunung Kawi.”

Ayahku memelukku, “Kita harus berterimakasih kepada Ki Soma Kepakisan. Kamu juga harus menemui teman-temanmu.”

“Tentu saja ayah. Aku akan menemui teman-temanku besok,” Aku mengepalkan tangan.

Jam istirahat aku menghampiri teman-temanku. Aku langsung mendorong mereka.

“Taruna, ada apa denganmu? Kamu sudah berjanji mematuhi semua permintaan kami,” ucap Giri.

“Lebih baik saya sendiri daripada berteman dengan kalian,” sahutku.

“Ingat, Taruna tanpa kami tahun kamu akan tinggal kelas lagi. Kami yang membantumu selama ini,” sambung Giri.

“Ayo, Taruna tidak ada yang mau menerimamu selain kami. Ayo carikan kami sarang walet! Kami akan menerimamu kembali,” sambung Wira.

“Kalian mau mencelakaiku lagi!” Aku mendorong Wira hingga terpelanting.

Giri mendorongku membuatku semakin marah.

“Berhenti. Taruna apa yang kamu lakukan?” Bu Guru datang bersama Pande.

“Teman-teman saya diganggu Taruna, Bu. Hukum saja Taruna Bu!” Pande mengadu kepada Ibu Guru.

“Iya, hukum saja Taruna!” Teriak teman-teman yang lain.

“Bu Guru, sebenarnya yang mengerjakan tugas-tugas Kebo Taruna adalah kami. Kami sering diancam kalau tidak mengerjakan tugasnya,” kata Pande.

“Benar itu Taruna?” Tanya Bu Guru.

“Benar, Bu!” jawabku menunduk.

 

“Besok, datang bersama orang tuamu menemui Ibu.”

“Hore....” Teman-teman serempak bersorak.

 

Jalan Damai

 

Semua tidak seperti dugaanku. Aku pikir ketika aku percaya diri teman-teman akan menerimaku.

Hari sudah sore, aku masih duduk di tepi sungai Pakerisan. Ayah dan Ibu pasti marah jika tahu perbuatanku.

Aku tidak ingin pulang, aku akan pergi ke pasraman Ki Soma Kepakisan. Dia pasti bisa menghiburku.

Betapa kagetnya aku, melihat kedua orang tuaku sedang berada di pasraman Ki Soma Kepakisan.

Ayahku membawa beras dan buah pisang sebagai ucapan terimakasih.

“Taruna, ayo ke sini! Ada yang mau kami sampaikan,” panggil ayahku.

“Saya juga mau menyampaikan sesuatu, Pak.” Aku tidak bisa menahan tangisku.

“Ayah, sebenarnya Taruna tidak memiliki teman di sekolah. Mereka sering mengejek tubuh Taruna yang besar seperti kerbau.”

“Mengapa kamu tidak cerita dari dulu, Nak?” Ibu memelukku.

“Saya tidak mau membuat Ayah dan Ibu sedih,” jawabku jujur.

“Saya merasa bersalah telah mendorong teman-temanku. Mereka semua menjauhiku.”

“Kita harus sampaikan masalah ini ke Ibu Guru. Bu Guru juga harus tahu kamu mengalami perundungan,” jawab Bapak.

Ki Soma Kepakisan menghampiriku, “Sebenarnya kakek ingin mengangkatmu jadi murid.”

“Tapi saya tidak bisa membaca dan menulis, Kek.”

“Anak spesial seperti kamu, perlu belajar dengan cara yang berbeda.”

Aku ke sekolah bersama Ayah untuk menyampaikan permasalahanku. Ibu Guru memanggil Wira, Pande, dan Pasek.

Teman-temanku mengakui perbuatannya. Mereka juga mengaku selama ini mengerjakan semua tugas sekolahku.

Ibu Guru menghukum teman-temanku. Aku disuruh mengerjakan tugas-tugasku sendiri.

Sore hari aku pergi ke pasraman menemui Ki Soma Kepakisan.

“Kek, saya ingin belajar di sini. Setelah menamatkan pendidikan di sekolah.”

“Bagus, Taruna. Kakek percaya kamu akan menjadi anak hebat. Seperti murid kakek, Gajah Mada. Dia sekarang menjadi patih di Majapahit.”

Ki Soma Kepakisan mengajari seni ukir untuk menghias candi.

“Ini namanya ukiran pepatran. Bentuknya seperti daun-daunan. Ini akan membuat tanganmu luwes,” kata Ki Soma Kepakisan.

“Bentuknya mirip seperti daun simbar yang saya temui di hutan.”

“Kemampuanmu meningkat pesat. Kamu perlu belajar dari alam.”

Pande, Wira, dan Giri sudah tidak menggangguku lagi. Mereka sudah memiliki teman baru yang diajak bertualang.

Aku tekun mengerjakan tugas-tugasku yang tertinggal. Kemampuan baca dan menulisku sudah meningkat. Hobi menggambarku membuatku lebih percaya diri.

Ki Soma Kepakisan mengajakku melihat pembangunan Candi Gunung Kawi.

“Megah sekali, Kek. Candinya berada di dinding tebing.”

“Kamu pun pasti bisa membuat candimu sendiri kelak,” kata kakek.

Aku menyusuri jalan di sepnjang Sungai Pakerisan. Sungai itu diapit oleh tebing yang tinggi. Kelak aku ingin membangun candiku di sini.

Aku melompati batu-batu yang ada di sungai Pakerisan. Hiburan yang sering aku lakukan dikala sendiri.

“Taruna, tolong kami!”

Aku mendengar teriakan di atas tebing.

“Teman kami tersesat di dalam goa,” teriak Pande.

Aku bergegas naik, menghampiri Pande.

Pande, Wira, dan Giri ingin mencari sarang walet. Dia menyuruh teman barunya mencarinya ke dalam goa.

“Saya akan membantu kalian. Kalian harus berjanji berhenti mempermainkan teman kalian.”

“Baik, Taruna,” kata Pande, Wira, dan Giri serempak.

Aku masuk dalam goa yang bercabang dan gelap. Aku menandai percabangan dengan pahatan di dinding goa.

Setelah lama akhirnya aku menemukannya.

“Maafkan kami, Garba.” Pande, Wira, dan Giri mendekati Garba.

“Terimakasih, Taruna. Terimalah kami menjadi temanmu,” kata Garba.

“Kalian selalu menjadi temanku. Goa ini menjadi saksi pertemanan kita. Goa ini saya beri nama Goa Garba.”  

Postingan Populer