Menulis Cerpen: Lastri

Lastri


    Namaku Lastri, umurku 20 tahun. Aku mempunyai cerita menyedihkan tentang keluargaku. Ibuku meninggal ketika aku SMU kelas II sedang ayahku menderita gangguan jiwa. Semuanya terjadi begitu misterius, pertama kali aku sempat tidak percaya karena sebelumnya ayah dan ibuku baik-baik saja seperti tidak memiliki penyakit apapun. Nenekku lah yang paling percaya kalau mereka itu sebenarnya kena bebai. Aku antara percaya dan tidak percaya, tetapi apabila nenekku menuduh tetangga kami Pak Rugeg melakukan hal itu maka dengan jelas aku tidak setuju, aku tidak ingin begitu saja melempar masalah ini pada orang lain. Kalaupun hal itu memang benar terjadi, aku tidak ingin menjadi pendendam. Aku ikhlas karena memang ada kekuatan yang lebih berkuasa dari manusia atau kekuatan apapun.

    Ayahku rupanya yang paling menderita. Penyakit aneh menyerangnya setelah ibuku meninggal. Tiap hari ia hanya diam mematung, badannya yang kurus seakan meyakinkan ada penyakit ganas dalam tubuhnya yang tidak terdeteksi oleh medis. Mata cekungnya, pandangannya tidak bercahaya sama sekali. Rambutnya yang putih kian habis menutupi kulit kepalanya. Umurnya yang sebenarnya 44 tahun seakan terasa lebih tua dari itu. Hatiku tersayat, air mataku bagai sudah habis. Aku tidak bisa berbuat apapun karena segala upaya untuk menyembuhkan ayahku baik medis ataupun non medis rasanya sudah habis, sepertinya tidak ada harapan lagi untuknya sembuh. Aku tidak bisa berbuat apa lagi selain pasrah, aku hanya bisa melayaninya makan, mandi, mencuci baju atau yang lainnya. Ada lagi sesuatu hal yang membuatku begitu tersiksa, dalam beberapa malam dia sering menjerit menyebut-nyebut namaku serta meronta memohon maaf. Setelah itu dia pasti berlari ke studio lukisnya, diambilnya cat warna merah dicoret-coretnyalah tembok yang sebenarnya sudah penuh dengan coretannya sebelumnya. Dia menyebut coretannya itu aku, kemudian dia bersujud mohon maaf. Aku takkan bisa mengekangnya karena ku tahu ia pasti berontak, tak ada jalan lain selain membiarkan hal itu. Sesungguhnya aku tak pernah merasa ayahku bersalah padaku, menurutku dialah yang terbaik. Kalau memang ayahku bersalah, aku pasti sudah memaafkannya.

    Malam ini aku terhenyak dari tidurku. Keringat dingin mengalir di wajahku, kuusap dengan tangan kiriku. Rupanya aku bermimpi buruk. Kutata lagi detak jantungku yang kacau, mencoba berpikir jernih. Apa mungkin perkataan balian  tadi siang benar? Tadi siang aku mengajak ayahku ke balian, aku masih ingat dengan jelas perkataan beliau. “Keluargamu sedang dibalut awan gelap. Burung gagak menari-nari girang. Ada sebab, ada pula akibatnya’’ Balian itu kemudia membekali aku, ayah dan nenekku masing-masing sebuah jimat. Semoga itu bisa menolong kami dari pengaruh jahat.

    Aku bangkit dari tempat tidurku, kunyalakan lampu. Sudah pukul 12 lebih, kuambil jimatku. Ada sedikit perasaan bersalah. Apa aku tidak percaya dengan kekuatan Sang Hyang Widhi? Kejadian-kejadian aneh yang menghampiri hidupku, membuatku merasa tidak berdaya. Aku memerlukan sesuatu untuk berlindung yang membuatku merasa sedikit nyaman.

    Kuliah pagi aku akhiri tanpa sesuatu yang berarti. Pikiranku dipengaruhi mimpi semalam karena itu aku putuskan untuk mengunjungi SMK Sukawati. Setelah minta izin di tempat kerjaku aku memacu mobilku menuju SUkawati. Rasa penasaran dengan mimpiku semalam mendorongku melakukan ini semua. Dalam mimpiku aku merasa diriku hidup pada tubuh orang lain. Aku merasa sangat ketakutan. Aku berlari kulihat dibelakangku ada api besar yang mengejar. Aku sudah berlari sekuat tenaga namun sial akhirnya aku tertangkap juga. Sekilas kemudian tubuhku seperti terpental ke tempat lain dan setelah aku sadari ternyata aku sedang tenggelam di lautan. Dadaku terasa begitu sesak, air laut memenuhi dadaku. Pikiranku kacau balau, semua kelihatan gelap dan tiba-tiba aku melihat lukisan.

    Ya, lukisan itu membuatku penasaran. Lukisan yang sepertinya sama aku lihat di ruang pameran lukisan SMK Sukawati. Dulu aku pernah kesana, ketika aku mendaftar sekolah. Ayahku sebenarnya juga lulusan sekolah itu, ia ingin aku menjadi pelukis seperti dia. Tapi aku menyesal karena aku tidak mengikuti keinginannya, sepertinya itulah permintaan terakhir darinya untukku.

    SMK Sukawati keadaannya tidak banyak berubah. Ada perluasan taman jadi sekolahnya terasa lebih sejuk dan nyaman. Aku memasuki ruang pameran, sebelumnya ada dua orang petugas yang mendata diriku. Hal yang paling aku tunggu sejak pagiakan segera terjadi. Lekas aku langkahkan kedua kakiku mencari lukisan yang seperti mimpiku semalam. Lukisan seorang wanita yang terbakar. Darahku mendesir, jantungku berdetak lebih kencang. Ternyata mimpiku seperti kenyataan, lukisan itu sama seperti mimpiku. Mataku tertuju pada pembuat lukisan itu. Astaga! Di pojok kanan lukisan tertera “Lastri, 2 Agustus 1980” Siapakah sebenarnya Lastri yang bukan aku itu? Tanpa berpikir lagi kutanyakan Pak Beni penjaga lukisan itu. Pelan-pelan ia mencarinya dalam dokumen yang jumlahnya cukup banyak. Sampai akhirnya dia menemukannya. Ni Nyoman Lastriani lahir di Ketewel 19 April 1962. Merupakan siswa yang aktif dan berprestasi. Dia meninggal dunia hari Kamis 2 Agustus 1980. Tak ada yang tahu motif bunuh dirinya. Kata orang dia bunuh diri karena kecewa dengan keluarga yang tidak harmonis. Sungguh tragis beberapa saat sebelum memutuskan untuk menenggelamkan diri di pantai Purnama, dia membuat lukisan misterius.

    Aku sedikit mengerti dengan misteri mimpiku, tapi aku masih bingung maksud ini semua. Aku putuskan untuk membeli lukisan Nyoman Lastriani, ada sesuatu yang mendorongku melakukannya. Aku balik ke rumah dan otakku tetap saja memikirkan Nyoman Lastriani. Turun dari mobil aku langsung ke kamar, tidak peduli nenekku yang ngomel-ngomel karena aku melupakan jimatku.

    Setelah beberapa hari aku tidak bermimpi buruk, ternyata aku mengalaminya kembali. Anehnya aku mengalami mimpi yang persis sama seperti waktu dulu. Bukankah semua sudah tejwab? Mimpiku kelihatan lebih nyata dan jelas. Aku panic, keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Lampu kamar aku nyalakan, aku pergi ke studio lukis ayahku. Aku ingin menemui lukisan Nyoman Lastriani sekaligus berharap dia akan menjawab kenapa ia menghantuiku terus. Kalau dipikir-pikir ternyata semenjak keberadaan lukisan itu, ayahku terlihat sungkan masuk ke studionya. Di studio aku duduk di kusrsi rotan sambil memegang lukisan Nyoman Lastriani. Seakan tidak berdaya aku terkulai lalu menangis. Apa sebenarnya dosa kami? Apakah tidak cukup puas dengan merenggut ayah ibuku?

    Aneh semakin kuraba lukisan Nyoman Lastriani, aku semakin merasa ada sesuatu yang tak beres dengan lukisan itu. Permukaaannya tidak merata seperti ada sesuatu dibalik polesan cat minyak berwarna merah darah. Lama aku berpikir sampai akhirnya aku putuskan untuk merobek lapisan cat minyak yang tebal menutupi sesuatu. Di dalamnya ternyata ada surat terakhir sebelum Nyoman Lastriani memutuskan bunuh diri.

    Kamis, 2 Agustus 1980

    “Aku tidak merasa dunia sebagi tempat yang indah lagi. Semua pergi menjauhiku, memusuhiku tanpa peduli perasaanku. Aku memang telah kehilangan harapan untuk hidup. Kesucianku telah kau nodai Kana! Dan bagiku itu sangat cukup untuk membunuhku. Ingat! Sampai kapanpun aku akan ingat perlakuanmu terhadapku. Aku takkan memaafkanmu Kana! AKu ingin kau datang sendiri padaku merengek-rengek mohon ampun. Di kehidupan sekarang aku tak bisa menuntutnya, semoga kelak datang waktunya. Tuahn! Alangkah berat cobaan yang Kau kenakan kepadaku. Aku sudah tidak sanggup lagi. Purnama tunggu aku datang!”

    Seperti tersengat lebah aku bangkit dan berteriak. Tabir misteri kini terungkap. Kaitan antara ayahku dengan kejadian ini akhirnya terkuak. Wayan Kana tiada lain adalah ayahku. Ternyata masa lalu ayahku begitu gelap. Apakah aku marah? Ternyata rasa kasihanku mengalahkan semua karena bagaimanapun dia tetap adalah ayahku. Sosok yang paling aku sayangi. Dia sudah sungguh menderita dan dia sudah sangat menyesali perbuatannya, terbukti pada suatu malam ia sering meronta-ronta memohon maaf yang ditujukannya ternyata bukan kepadaku. Aku harus mewujudkan keinginan ayahku dan Nyoman Lastriani, semoga dengan begitu semua masalah akan berakhir.

    Kamis pagi aku ajak ayahku keluar. Inilah rencana yang ingin aku lakukan kemarin malam. Dalam mobil, ayahku hanya terdiam seperti sebelumnya. Ingin rasanya tahu apa yang dipikirkan ayahku sekarang. Bagaimana perasaannya sekarang? Menurutku seandainya aku dalam posisinya pasti aku merasa malu, minta maaf selalu terasa menyulitkan. Aku parker mobilku di bawah pohon kamboja. Begitu aku keluar dan membukakan pintu untuk ayahku, dia langsung berlari menuju laut. Mungkin Lastriani memanggilnya. Aku pun mengejarnya, berjaga-jaga agar tidak terjadi sesuatu yang membahayakan hidupnya. Ayahku berteriak menyebut Lastri berulang kali seperti mendengar suara ia kemudian memohon maaf. Ayahku melangkah lebih ke tengah dan aku mengikutinya. Deburan ombak beberapa kali menggoyahkan tubuh kami, terasa dingin menjalari kaki hingga ubun-ubun. Tak ku tahu ombak tiba-tiba membesar dan melahap tubuh ayahku, aku yang ikut tergoncang mencoba meraih tangan ayahku. Aku berteriak sekencang-kencangnya namun ayahku tiada peduli lagi denganku, dia sedang mendengar suara lain. Kujulurkan tanganku sekuat-kuatnya namun ombak kian membawanya jauh dariku. Ombak hanya menginginkan ayahku dan aku dihempaskannya ke sisi. Semakin kucoba ke tengah ombak semakin kuat menerjangku. Sampai usaha terakhir aku merasa putus asa. Perasaanku berkecamuk, tak bisa kumaafkan diriku. Mengapa aku lengah dan membiarkan ayahku terbawa ombak? Dunia ternyata begitu kejam. Terbitnya mentari pagi hanya memunculkan penyesalan dalam diriku.

Cerpen lama yang aku buat mungkin tahun 2007

Postingan Populer