Belajar Menulis Cerpen
Menyemai Dongeng
Hidup kadang memberi kita sesuatu yang tak
terduga ibarat cuaca kadang kita melewati cuaca yang buruk. Meski kamu
mendengar berbagai kata motivasi yang mendorongmu untuk berpikir positif.
Kadang pilihannya adalah menerima bahwa hidup tidak sedang baik-baik saja. Aku
tersenyum melihat pemandangan di depanku, wajah yang kusut sekusut taplak meja
yang belum disetrika. Siang yang menyengat, suasana di jam pelajaran terakhir
menguras energi. Aku mencoba mengalihkan haluan. “Anak-anak belajarnya cukup,
ayo kita mendengar dongeng!”
Murid menyambut umpanku seperti bocah yang menyambut
lemparan coklat. “Ayo pak lanjutkan cerita Rare Angon kemarin”. Dongeng adalah
salah satu siasatku ketika menemukan kebuntuan dalam mengajar. Diantara
gempuran teknologi informasi aku rasa dongeng masih digemari anak-anak. Media
yang tepat untuk mengembangkan imajinasi dan menanamkan nilai positif dalam
diri mereka. Aku menutup jurnal mengajarku kemudian berdiri memulai cerita.
Rare Angon seorang anak gembala yang mengisi
hari-harinya di padang rumput menjaga sapi-sapinya. Dia suka menyandarkan
badannya di bawah pohon sambil memainkan seruling atau ketika siang yang
menyengat dia menghabiskan waktunya menggambar wajah wanita dengan ranting kayu.
Tanah lapang ibarat kanvas melukiskan imajinasinya mengisi hari-hari sendiri. Gambar
itu sangat memikat hati diberinya nama Ni Lubang Kuri.
Hari merambat sore, Rare Angon mengantarkan
sapi-sapinya pulang. Ni Lubang Kuri ditinggal begitu saja, Rare Angon enggan
menghapusnya. Tak lama datanglah seorang raja yang kebetulan melewati tanah
lapang itu, dilihatnya Ni Lubang Kuri memikat hati. Raja memerintahkan Rare
Angon mencari Ni Lubang Kuri jika tidak nyawa Rare Angon gantinya. Dengan
demikan dimulailah petualangan Rare Angon mencari Ni Lubang Kuri.
“Wah bagaimana kelanjutannya Pak?” Muridku spontan
memotong ceritaku. Aku tersenyum, aku memang membebaskan mereka mengungkapkan
isi hatinya. Semua anak itu spesial mereka harus diberikan ruang untuk
mengekspresikan diri. Ketukan meja, celetuk spontan, bernyanyi, tertawa
menghiasi jam pelajaranku. Ketika membebaskan mereka sama seperti membebaskan
masa kecilku.
Rare Angon adalah cerita masa kecilku yang aku dapatkan
dari nenek. Ketika itu belum ada televisi atau Hp, hiburan satu-satunya hanya
dari mendengar dongeng. Nenek sering mendongengkan aku ketika malam sambil
membuat sesaji. Aku betah mendengar kisahnya yang selalu berakhir
bahagia seperti dongeng pada umumnya.
Dalam perjalanan Rare Angon bertemu dengan Ki
Dukuh, kakek yang memberinya kekuatan untuk mengalahkan raksasa yang menangkap Ni
Lubang Kuri. Rare Angon berhasil mendapatkan Ni Lubang Kuri dan menyerahkannya
kepada Raja. Raja ingin mencelakai Rare Angon namun siasatnya justru mencelakai
dirinya sendiri. Akhir cerita Rare Angon dinobatkan menjadi raja didampingi Ni
Lubang Kuri.
Nenekku adalah pendongeng yang ulung,
kata-katanya mengalir mengalun sungai kebijaksanaan. Ayahku tak cukup waktu untukku,
dia menghabiskan harinya di sawah dan berjudi. Ibuku mengidap gangguan mental.
Ketika mengandung ibukudepresi, puncaknya ketika melahirkan aku dia menderita
gangguan mental. Berjudi adalah bentuk pelarian dari kekesalan atas kenyataan. Dia
sering mengeluhkan aku yang kurang cakap membantu pekerjaannya, fisikku lemah
dan sakit-sakitan.
Rare
Angon adalah simbul kebanggan petani, kebanggaan atas subak tradisi
pertanian di Bali. Ukuran keberhasilan mendidik anak dilihat dari kecakapan
dalam melakukan pekerjaan sawah. Anak-anak adalah penerus tradisi Rare Angon,
bertani mengikuti jejak orang tuanya. Aku tidak punya persamaan dengan Rare
Angon, aku tidak cakap mencangkul atau membajak sawah. FIsikku lemah aku
menghabiskan lebih banyak waktu menyendiri tenggelam dalam imajinasi. Kegemaran
satu-satunya adalah menggambar tapi itu tidak cukup membuat ayah terkesan.
Aku tumbuh dari kehidupan masyarakat yang pasrah
akan nasibnya. Wajah-wajah sederhana yang selalu aku temukan setiap pagi
berangkat sekolah. Wajah yang menjalankan tradisi leluhur dengan kebanggaan. Akankah
wajahku kelak seperti mereka? Pertanyaan ini muncul ketika aku menyusuri
persawahan dengan sepedaku. Guru bertanya tentang cita-cita yang menurutku
hampir mustahil diwujudkan. Jika aku jawab ingin menjadi Rare Angon tentu saja ini
akan jadi lelucon yang satir.
Hidup ini adalah teka-teki yang harus dijalani,
aku mempertaruhkan segalanya. Lelucon itu berlanjut ketika aku putuskan pergi
ke Denpasar tanpa persiapan yang matang. Bekalku hanya beberapa lembar uang
dari nenek yang membuat bathinku menangis. Di Denpasar aku akan memulai hidupku
dari awal tak ada ayah, tak ada orang yang menyebutku aneh. Motivasiku
sederhana aku ingin mendapatkan pekerjaan, membuktikan anggapan ayah selama ini
salah.
Aku menatap kosong dari balik jendela bis angkutan
umum yang mengantarkanku melewati rumah-rumah dan masa laluku. Pagi yang
menusuk dengan kesedihan yang membayangiku. Aku ingat wajah nenekku dengan doa
yang dirafalkan dari mulutnya demi keberhasilan dan keselamatanku. Aku mencari
rumah Pak Ngurah orang yang aku gantungkan untuk melanjutkan hidupku.
Pak Ngurah memberiku ruangan yang cukup untuk
aku tinggali, ruangan yang jauh lebih baik dari rumahku di desa. Aku tekun
membersihkan rumah dan pekarangan untuk membalas jasa Pak Ngurah, anaknya juga
sering meminta bantuan mengerjakan tugas sekolahnya. Aku masih suka melukis ketika
ketika susah tidur. Istri Pak Ngurah terkesan dengan lukisanku yang cenderung
beraliran ekspresionis. Dia adalah guru di sekolah seni Denpasar.
Bayangan ayah masih memicuku untuk lebih giat
belajar dan bekerja mengerahkan segala yang aku bisa untuk mendapatkan uang. Aku
menulis cerita anak di surat kabar daerah. Dari mengajar anaknya Pak Ngurah
membuatku berani untuk mengajar les di sekitar rumah. Aku bertemu bu Linda yang
menerimaku menjadi guru les di bimbingan belajarnya walau hanya berbekal ijazah
SMA. Hidupku menemukan titik terangnya, aku temukan kepercayaan diriku yang
hilang.
Gaji pertama aku sambut dengan antusias. Aku membawanya
pulang untuk membuktikan kemenanganku. Perjalanan bis terasa menyenangkan,
suara radio yang diputar serasa ikut melambungkan kebahagiaanku. Rare Angon
sudah berhasil dengan misinya, bertemu dengan orang baik yang merubah hidupnya.
Aku menapakkan kakiku dengan ringan melewati gang rumah. Orang-orang
menyambutku dengan tatapan aneh, sesekali kata sabar muncul dari mulutnya. Di rumah
aku melihat kerumunan yang lebih banyak, orang-orang menceramahiku, bising
seperti suara tawon yang tak aku mengerti. Aku terjatuh, hidupku sudah
berakhir.
Tak ada lagi yang perlu dibuktikan. Gaji
kebanggaanku justru aku pakai untuk biaya pengabenan, upacara penguburan
ayahku. Tak ada lagi orang yang mengabaikanku, tak ada lagi ayah. Aku menghabiskan
waktuku tenggelam dalam depresi. Aku melukis lebih banyak mengekspresikan
segala kepedihan yang aku rasakan. Orang-orang sudah menganggap aku gila mengikuti
jejak ibuku. Aku tidak peduli. Malam imsomnia, trauma, halusinasi mengisi
hari-hariku. Sayup-sayup aku dengar suaranya “Rare Angon bangkitlah!”
Hanya suara nenek yang membangunkanku dengan
tenaganya yang tersisa. Nenek yang selalu sabar memenuhi segala kebutuhan makan
dan minumku. Nenek yang tubuhnya semakin ringkih namun tetap tabah menghadapi
kesedihan yang seperti tidak ada habisnya. Akankah nanti aku harus kehilangnnya
juga? Memikirkannya membuatku semakin sakit. Aku kumpulkan kesadaranku, nasi
nenek aku makan dengan lahap tidak seperti biasanya. Nenek adalah segalanya,
dongeng-dongeng yang menggema mengiasi bathinku jadi pegangan melanjutkan hidup.
Kali ini aku harus membuatnya bahagia.
Aku putuskan untuk bangkit, aku mengajar di
Panti Asuhan secara sukarela. Rasa bersalah masih menghantuiku, aku ingin
melakukan pelayanan untuk menyembuhkan luka bathinku. Di panti asuhan aku akan
bertemu orang-orang yang memiliki latar belakang sepertiku. Membantu mereka
sama dengan membantu diriku sendiri. Lambat laun aku diangkat menjadi guru
tetap yayasan. Ada banyak cerita yang aku temukan yang membuka kesadaranku. Anak-anak
terlantar, anak-anak yang lahir dari hubungan gelap, anak pemulung, anak yang
dieksploitasi oleh orang tuanya. Mendidik mereka cukup menghabiskan energiku,
lambat-lambat akupun sedikit lupa dengan penyesalanku. Aku mengajar dengan
menyisipkan dongeng Rare Angon dalam penjelasanku. Aku ingin membebaskan
murid-muridku menjadi dirinya sendiri, aku ingin mengatakan mereka semua istimewa.
Oleh,
I Nyoman Sutarjana
Blahbatuh, Gianyar