Membuat Dongeng: Kebo Iwa

 

Lahirnya Kebo Iwa

                Kerajaan Bedahulu adalah salah satu kerajaan yang pernah berdiri di Bali. Kerajaan ini dipimpin oleh Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang artinya permata yang perkasa dari Bali. Berkat kepemimpinannya masyarakat Bali hidup sejahtera. Mereka sebagian besar bekerja sebagai petani mengolah sawah yang airnya bersumber dari Sungai Pakerisan. Sungai Pakerisan adalah sungai yang disucikan yang asal-usulnya bersumber dari cerita Mayadenawa leluhur raja Bedahulu.

                Aliran sungai Pakerisan telah memberikan kesuburan untuk tanah Bedahulu. Rakyat banyak membangun pemukiman di sekitar sungai. Salah satunya adalah Sri Karang Buncing, dia hidup bersama istrinya. Sudah lama mereka tidak dikarunia seorang anak. Penghasilan yang dikumpulkan dari mengolah lahan kerajaan seperti tidak ada artinya. Istri Sri Karang Buncing sering mengeluhkan itu kepada Sri Karang Buncing namun pada akhirnya mereka hanya bisa berserah kepada Tuhan Yang Maha Esa.

                Masyarakat Desa Bedahulu adalah pemeluk Hindu yang taat. Setiap bulan purnama kerajaan menggelar upacara di Pura Gaduh. Pura Gaduh adalah pura terbesar di kerajaan Bedahulu. Sri Karang Buncing menghaturkan sebagian hasil dari sawah yang diolahnya berupa beras, kelapa, pisang, dan jagung. Sri Karang Buncing memang terkenal sebagai warga yang tekun dan ulet. Siang dan malam dia melakukan pelayanan di Pura Gaduh.

                Upacara di pura Gaduh memberi berkat sendiri bagi Sri Karang Buncing. Istrinya mengandung, kebahagiaan Sri Karang Buncing tidak terkira. Sri Karang Buncing bekerja lebih giat lagi mengolah tanah kerajaan. Sehingga semakin banyak hasil yang bisa dia persembahkan ketika upacara di Pura Gaduh. Sebagian hasilnya akan dia kumpulkan untuk membesarkan anaknya.

                Beberapa bulan kemudian istri Sri Karang Buncing melahirkan seorang putra. Tepat di hari tilem atau bulan mati. Sri Karang Buncing ketika itu sedang membajak sawah dengan kerbaunya. Mendengar kabar bahagia itu Sri Karang Buncing bergegas pulang. Anak itu diberi nama Kebo Iwa. Tubuhnya tinggi besar dan berkulit gelap.

                Kebo Iwa tumbuh besar dan kuat, selera makannya sangat tinggi. Sri Karang Buncing sampai kewalahan menyiapkan kebutuhan anaknya. Penghasilan yang dikumpulkannya bertahun-tahun segera habis. Sri Karang Buncing bekerja dengan keras demi membesarkan anaknya. Ibunya sering berhutang kepada tetangga untuk membeli beras.

                Kebo Iwa tidak seperti anak kebanyakan, mungkin karena lahir dari berkat Pura Gaduh. Badannya tinggi besar itu membuatnya segera bisa membantu ayahnya bekerja. Kebo Iwa sadar sudah menyusahkan orang tuanya, dia pun lebih banyak bekerja dari pada bermain dengan teman sebayanya.

                Setiap sore Kebo Iwa menemani ayahnya memandikan kerbau-kerbau itu. Dia pun bertanya kenapa dia diberi nama Kebo Iwa. Ayahnya menjawab kerbau adalah binatang yang sangat berjasa bagi petani. Kerbau binatang yang kuat dan penurut. Ayah ingin Kebo Iwa bisa meniru sifat kerbau itu kuat dan banyak menolong orang.

                Sri Karang Buncing menasihati Kebo Iwa supaya tidak malu dengan kondisinya. Badannya yang tinggi besar sering menjadi bahan olok-olokan temannya. Ayahnya berpesan supaya Kebo Iwa tidak membalas perlakuan temannya. Kebo Iwa harus rajin belajar menunjukkan prestasi adalah cara yang tepat untuk membalas olok-olokan temannya.

                Setiap malam Kebo Iwa belajar bersama ibunya ia senang belajar ilmu alam. Belajar sambil mengamati lingkungan sekitar. Kebo Iwa senang melihat bulan dan menyadari bentuk bulan yang berubah-ubah. Dia mencatat perubahan itu terjadi berselang 15 hari. Bulan dalam kondisi penuh disebut dengan bulan purnama. Bulan dalam kondisi kosong disebut dengan bulan mati atau Tilem.

                Ibu mengajari Kebo Iwa ilmu Wariga atau perhitungan hari baik dalam melaksanakan upacara. Umat Hindu tidak hanya merayakan upacara setiap Purnama dan Tilem. Ada perhitungan lainnya yang terdapat dalam ilmu Wariga. Perhitungan itu adalah Wara, Wuku, dan Sasih. Wara perhitungannya dalam 1 hari, Wuku dalam 1 minggu atau 7 hari, dan Sasih perhitungan bulan.

                Kebo Iwa bertanya apakah ada hubungan hari kelahiran dengan warna kulit. Kebo Iwa mengira kulitnya hitam karena lahir pada bulan mati. Ibunya tersenyum melihat kepolosan Kebo Iwa. Ibunya menjawab itu karena turunan ayahnya yang berkulit hitam. Kulit yang sebagian besar dimiliki oleh petani atau kaum sudra.

                Semakin hari ibu semakin kesulitan menjawab rasa ingin tahu Kebo Iwa. Dia ingin menyekolahkan Kebo Iwa. Akan tetapi orang dari Sudra Warna tidak boleh bersekolah ketika itu. Sudra Warna adalah susunan masyarakat yang berprofesi sebagai petani dan buruh. Ibu Kebo Iwa pergi ke sebuah sekolah yang dipimpin oleh Ki Soma Kepakisan.

                Sekolah itu hanya menerima kaum Brahmana dan Ksatria menjadi muridnya. Ibu membujuk supaya Kebo Iwa diterima. Dia berjanji akan melakukan apa pun supaya Kebo Iwa bisa bersekolah. Kebo Iwa adalah anak yang cerdas walaupun dari Sudra Warna. Melihat kegigihan ibu, Ki Soma Kepakisan mengijinkan permintaan ibu. Kebo Iwa diterima menjadi murid Ki Soma Kepakisan.


Belajar dari Ki Soma Kepakisan

               

                Kebo Iwa pamitan kepada orang tuanya, dia akan bersekolah di pasraman Ki Soma Kepakisan selama 6 tahun. Ayah dan Ibu menasihatinya supaya rajin belajar dan patuh dengan perintah Ki Soma Kepakisan. Kebo Iwa harus menjadi anak yang pintar untuk membanggakan keluarga dan desanya. Dia adalah satu-satunya anak dari Sudra Warna yang diijinkan mengenyam pendidikan.

                Kebo Iwa juga berpamitan kepada warga desa, juga kepada teman yang mengolok-ngoloknya. Mereka merasa malu dengan perbuatannya tetapi Kebo Iwa membalasnya dengan senyum persahabatan. Kebo Iwa berjanji akan kembali dan membangun desanya. Dia akan membangun sebuah sekolah yang mengijinkan warga desa untuk belajar.

                Perjalanan ke asrama cukup jauh, apalagi Kebo Iwa berangkat subuh. Dia ingin sampai ke sekolah tepat ketika pembelajaran dimulai. Kebo Iwa bergegas berjalan menyusuri pinggir sungai Pekerisan. Sekolah itu tepat berada di hulu sungai.

                Gerbang sekolah dibuka bertepatan dengan kedatangan Kebo Iwa. Dia segera menemui Ki Soma Kepakisan. Murid-murid duduk membentuk lingkaran di tengahnya Ki Soma Kepakisan duduk pada kursi batu. Kebo Iwa menghadap menyampaikan hormat. Murid-murid merasa heran dengan kehadiran Kebo Iwa yang terlihat berasal dari keluarga miskin.

                Kebo Iwa memperkenalkan diri kepada teman-temannya. Dia melihat sebagian menertawakan penampilannya. Namun Kebo Iwa membalasnya dengan senyum. Sebagai awal pembelajaran Ki Soma Kepakisan menanyakan keahlian Kebo Iwa. Kebo Iwa sangat ahli dalam bidang pertanian, selain itu dia suka mengukir batu.

                Ki Soma Kepakisan menyuruh Kebo Iwa mengambil batu di Sungai Pakerisan dan menunjukkan keahlian ukirnya. Kebo Iwa datang membawa batu yang sangat besar. Teman-temannya tertawa, bagaimana dia bisa memahat batu yang besar.

                Batu yang besar diletakkan di tengah lingkaran di depan Ki Soma Kepakisan. Kebo Iwa menunjukkan keahlian yang belum dia perlihatkan kepada siapa pun, termasuk orang tuanya. Dia memahat batu itu dengan kukunya. Pertama dia membelah batu itu membentuk kubus. Dari kubus itu Kebo Iwa membuat garis-garis untuk menentukan bagian yang akan dipahat.

                Kebo Iwa tekun memahat batu dengan kukunya. Hal itu menarik perhatian murid-murid dari tingkat yang lebih atas. Menjelang siang batu itu sudah berubah wujud menjadi bentuk yang sangat dikenal murid-murid pasraman. Batu itu kini menjadi patung Ki Soma Kepakisan yang berdiri dengan tongkatnya. Ukirannya sangat mirip dan rapi.

                Ki Soma Kepakisan membenarkan kata-kata ibu Kebo Iwa, bahwa anaknya adalah anak yang istimewa. Kebo Iwa sangat berbakat dalam rancang bangun. Dia akan menjadi undagi atau tukang bangunan yang hebat. Ki Soma Kepakisan mengajarkan Kebo Iwa ilmu matematika, seni memahat, dan seni bangunan.

                Ibu Kebo iwa sudah berjanji bahwa Kebo Iwa tidak hanya belajar disana, Kebo Iwa juga bekerja. Subuh sebelum pelajaran dimulai Kebo Iwa sudah di dapur membantu memasak. Setelah itu dia mencarikan rumput sapi-sapi asrama. Kebo Iwa juga sering membantu memerah susu.

                Perlahan teman-teman Kebo Iwa mulai mengaguminya, mereka malu karena sudah menghina Kebo Iwa. Mereka pun tak segan meminta pelajaran dari Kebo Iwa walaupun warna atau status mereka berbeda. Warna tidak ditentukan oleh keturunan atau kekayaan melainkan dari keahlian

                Tidak terasa 6 tahun sudah masa Kebo Iwa belajar. Kini dia sudah menjadi undagi yang hebat tidak hanya itu dia tumbuh menjadi orang yang baik hati. Ki Soma Kepakisan menyarankan Kebo Iwa mengikuti seleksi menjadi undagi istana. Kerajaan Bedahulu sedang membangun candi untuk menghormati raja Hanak Wungsu yang wafat.

 

Menjadi Patih Di Bedahulu

                Warga desa menyambut kedatang Kebo Iwa, mereka menyambut dengan syukuran sederhana. Warga desa duduk di balai desa menikmati makanan yang disediakan oleh Sri Karang Buncing. Upacara penyambutan yang bahagia itu kini disambut haru.

                Warga desa mengalami kesulitan karena mereka diganggu oleh pejabat kerajaan yang menagih pajak berkali lipat. Ini sebabnya kenapa desa tidak semakmur dahulu. Warga desa hidup dalam tekanan.

                Melihat hal ini Kebo Iwa tidak bisa tinggal diam, dia berjanji akan menyelesaikan masalah ini. Dia akan menemui pemungut pajak yang lalim itu. Kebo Iwa juga berjanji akan melatih pemuda desa untuk bela diri, sehingga mereka bisa menjaga desanya dari serangan orang jahat.

                Ujian untuk menjadi abdi kerajaan tinggal sebulan dalam waktu itu Kebo Iwa terasa cukup untuk membangun desa. Kebo Iwa mendatangi petugas pajak yang kejam itu, menyuruhnya berhenti memeras warga desa. Pemungut pajak itu tidak terima kemudian menyerang Kebo Iwa. Petugas pajak memanggil anak buahnya untuk menyerang Kebo Iwa. Semua pasukan bahkan petugas pajak itu tidak bisa meladeni kekuatan Kebo Iwa.

                Warga desa ingin menjadikan Kebo Iwa sebagai kepala desa namun kepala desa biasanya berasal dari pegawai kerajaan. Kebo Iwa mengatakan bahwa dia akan mengikuti seleksi abdi kerajaan. Sebelum itu dia melatih pemuda desa bela diri, semua pemuda desa antusias untuk menjadi pasukan penjaga desa. Pasukan itu kemudian bernama Bala Batu, bala artinya pasukan dan batu artinya batu. Pasukan yang memiliki kekuatan sekeras batu.

                Kebo Iwa mengikuti ujian menjadi abdi kerajaan, dia ingin menjadi undagi yang sedang membangun candi untuk makam raja Hanak Wungsu. Candi itu agak berbeda karena akan dibangun pada bibir tebing Sungai Pakerisan. Bibir tebing itu berisi batu andesit yang keras. Tentu ini sangat mudah bagi Kebo Iwa, karena dia dianugerahi memiliki kuku yang keras dan tajam. Ketika akan mengajukan diri kepada petinggi kerajaan, Kebo Iwa dihadang oleh pegawai pajak. Dia menuduh Kebo Iwa tidak mau membayar pajak.

                Petinggi kerajaan itu adalah Ki Pasung Grigis, dia adalah mahapatih kerajaan Bedahulu. Melihat keributan itu Ki Pasung Grigis memanggil Kebo Iwa. Kebo Iwa menyampaikan hormat dan menyampaikan keadaan dengan sebenar-benarnya. Melihat adab Kebo Iwa yang baik, Ki Pasung Grigis percaya apalagi setelah tahu dia adalah murid Ki Soma Kepakisan. Pasung Grigis dan Soma Kepakisan adalah sahabat dekat.

                Melihat kehebatan Kebo Iwa, Ki Pasung Grigis justru mengangkat Kebo Iwa sebagai prajurit kerajaan yang ditugaskan menjaga keamanan kerajaan. Kebo Iwa dengan senang hati menerima tugas itu, dia ingin melindungi desanya juga. Dia pun tekun belajar ilmu kepemimpinan.

                Ki Pasung Grigis mengajari Kebo Iwa berbagai ilmu perang dan kepemimpinan. Kebo Iwa belajar tentang strategi menjaga keamanan kerajaan dari serangan musuh. Kebo Iwa juga diajarkan bagaimana menjadi pemimpin yang baik. Pemimpin yang baik harus mampu menjalankan Tri Kaya Parisudha atau tiga perbuatan yang mulia. Berkata yang baik, berpikir yang baik, dan berbuat yang baik.

                Pembangunan candi di tebing sungai Pakerisan berlangsung dalam pengawasan Kebo Iwa. Kebo Iwa ikut membantu memahat dinding tebing dengan kukunya. Tidak lama berdirilah deretan candi yang besar di dinding tebing. Candi itu Kebo Iwa namakan Candi Gunung Kawi.

                Raja Bedahulu sangat terkesan dengan karya Kebo Iwa. Tidak salah orang-orang kerajaan mengelu-ngelukan namanya. Kebo Iwa tidak hanya menjalankan tugasnya sebagai prajurit kerajaan melainkan juga memimpin pembangunan Candi Gunung Kawi. Raja Bedahulu berkenan mengabulkan permintaan Kebo Iwa.

                Kebo Iwa menyampaikan keinginannya dia ingin menjadi pemimpin desanya untuk membalas kebaikan warga desanya. Kebo Iwa diijinkan memimpin desanya. Desa itu dia beri nama Blahbatuh.

                Kebo Iwa membangun sekolah di desanya dia mengajarkan berbagai macam ilmu, khususnya ilmu bangunan. Kebo Iwa juga melatih bala batu agar menjadi prajurit yang menjaga desa Blahbatuh. Kebo Iwa juga membangun berbagai tempat suci di desa seperti Pura Goa Gajah, Pura Kebo Edan, Candi Tebing Tegalinggah.

                Kebo Iwa adalah pahlawan desanya, dia adalah kebanggaan masyarakat Blahbatuh. Untuk mengenang jasanya wajahnya diarcakan di Pura Gaduh. Pura yang memberkati kelahirannya.

Giri Emas, 27/2/2023

I Nyoman Sutarjana

 

Postingan Populer