Ratapan Rawi
Ia
mencintai kamar kostnya, tempat yang menerima dirinya apa adanya. Tempat yang
tidak terlalu luas tapi memberikannya kenyamanan. Tempat yang paling
dirindukannya ketika pulang kerja. Aktivitas di bank begitu menyedot
hari-harinya, kesibukan dengan angka, melayani pelanggan, rapat, bersosialisai,
kewajiban untuk selalu tersenyum. Semua itu seperti vampir energi yang
menguras emosi Rawi. Seperti awan yang pucat Rawi menyerahkan badannya di ranjang
kostnya. Sebentar lagi kelelahan itu akan mengalir dengan sendirinya, seperti
awan berganti hujan. Seekor laron datang dari balik jendela, sedini itu makhluk
malang itu datang.
Terdengar
di luar penghuni kost mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Senja seperti
jeda bagi kehidupan. Beberapa blok sudah ramai dengan obrolan bapak-bapak pulang
kerja. Ibu-ibu dengan kesibukannya memasak, mengangkat jemuran, dan sesekali
terdengar omelan kepada anaknya yang asyik bermain lumpur. Adegan itu adalah
hiburan gratis bagi Rawi, seperti acara reality show di tv cukup memberi
ketenangan. Sebuah kehangatan yang Rawi rindukan.
Sebentar
lagi malam minggu. Rawi teringat film Raditya Dika dan kegagalannya di malam
minggu. Rawi belum menemukan pasangan, sosok yang memberinya cinta dan kenyamanan
seperti kamar kostnya. Entah kenapa malam minggunya selalu penuh dengan cerita
mengenaskan. Tempat ketemuan yang membuat Rawi kikuk. Kesan pertama yang gagal
karena gaya berpakaian Rawi. Kacamata tebal dan obrolan yang serius. Rawi ujung-ujungnya
hanya menjadi tempat curhat, tempat menumpahkan kekesalan. Bukan mendapat
pasangan, Rawi justru berhasil menyatukan hubungan pasangan yang sempat
renggang.
Ponsel
yang tergeletak disampingnya, berdenting memecah kesunyian. Ada pesan dari Rendra
teman yang sekaligus menjadi biro jodohnya. Dialah yang mengenalkan sosok
seperti Gita, Ratna, Intan, Putri, Dewi dan masih banyak lagi. Rendra belum
menyerah dengan keluwesannya dia selalu menemukan kenalan untuk Rawi.
“Kali
ini ada target baru bro. Namanya Dini, teman satu kantorku.”
“Bukan
yang suka ke tempat-tempat ramai dan mengomentari pakaianku kan?”
“Bukan,
kali ini berbeda. Dia sama-sama pendiam, lama melajang. Sudah banyak teman
kantor yang mendekati, semua ditolak. Aku yakin ini cocok untukmu.”
“Iya
deh aku coba. Kasihan sama kamu aja.”
“Ok,
aku atur tempat ketemuannya ya. Mau ketemu dimana?”
“Toko
buku.”
“Tepat,
dia hobi baca bro.”
Rawi
memakai kemeja, celana panjang, merapikan rambut sekenanya. Tepat seperti orang
yang mau kondangan. Rawi tidak peduli, cinta seharusnya membuat dia diterima
apa adanya. Motor bututnya melaju perlahan, seperti tanpa tujuan.
“Maaf
sudah lama menunggu ya? Tadi kena macet.” Rawi berbohong
“Ya,
gak apa-apa. Ayo masuk!” Dini menyambut Rawi dengan senyum, tanpa tanda-tanda
kesal, kecewa atau semacamnya. Rawi menandai keanehan itu.
“Aku
kira cowok penyuka buku sudah punah.”
“Aku
kira cewek yang tidak terlalu peduli dengan lipstiknya sudah punah.”
“Berarti
kita makhluk yang hampir punah dong.” Dini tersenyum.
“Aku
harap itu pujian.” Rawi membalas tersenyum.
“Mantanku
juga begitu.”
“Eh, suka baca buku apa?” Rawi mengalihkan haluan,
takut jadi korban curhat lagi.
“Aku
suka roman.”
“Sudah
kuduga. Kenapa ya wanita selalu suka kisah romantis?”
“Cewek
kan lebih perasa. Terus kamu Sukanya apa?”
“Biografi.
Aku juga ingin suatu saat orang menulis ceritaku.”
Baru
kali ini Rawi merasa pertemuannya berhasil. Obrolan sambil menikmati es krim di
emperan sambil melihat kendaraan begitu berkesan bagi Rawi. Dini punya banyak
hal menarik di balik penampilan sederhananya. Rawi berharap hubungan itu
berlanjut, banyak hal yang ingin Rawi tahu dari Dini.
Rawi
pulang sambal ingat Dini. Rambut ikalnya dan tawa renyahnya. Motor butut melaju
dengan kepastian. Kali ini nasibnya bukan lagi seperti film Raditya Dika.
Ketika menutup kamar kostnya, Rawi membuka ponsel ada notifikasi pesan Rendra.
“Apa aku bilang kalian cocok. Dini bilang kamu
nyambung. Selamat ya, semoga terus berlanjut.”
“Terimakasih
ya bro. Nyambung karena apa bro?”
“Dia
bilang kamu indigo.”
“Indigo?
Aku tidak merasa begitu.”
Merasa
dekat dengan cinta segalanya terasa ringan, mirip film India hanya saja tidak
harus nyanyi-nyanyi. Rawi menjalankan rutinitas dengan lebih bersemangat. Lebih
banyak tersenyum. Angka-angka tidak lagi membuatnya frustasi. Diapun merasa
lebih bisa bersosialisasi dan yang paling penting Rawi sudah berani menyapa
ayahnya. Dini sudah banyak merubah Rawi.
Setelah
tahu dirinya Indigo Rawi lebih rajin meditasi. Rawi memiliki Indigo tipe impath,
tipe yang sangat peka dengan energi. Itu membuatnya mampu menyerap emosi
negatif orang-orang di sekitar. Rawi memerlukan waktu sendiri, melakukan
hal-hal sederhana untuk memulihkan energinya. Meditasi membuatnya lebih mampu menerima
kelebihan dan kekurangan dalam diri.
Hubungan
Rawi dengan ayah kurang bagus. Rawi kabur dari rumah. Ayah ingin Rawi
melanjutkan usaha keluarga. Rawi ingin menjadi penulis. Tulisan pertamanya
sebuah jurnal tentang kesedihannya. Ayah menyebut Rawi berhati perempuan. Rawi
marah dan ingin membuktikan diri bahwa ia sanggup bertahan tanpa ayah.
Dini
adalah anak indigo yang mampu melihat energi. Dia bisa melihat hantu dan
makhluk gaib lainnya. Ayahnya adalah sosok yang membuatnya mampu menerima
kondisi itu. Mantannya adalah seorang penulis. Hanya saja hubungan itu
dipisahkan oleh maut. Sebelum kejadian itu Dini sudah merasakan firasat buruk
sayang sudah terlambat. Dari sana dia menyadari punya kemampuan menerawang.
“Aku
tahu kamu pasti suka ini. Novel judulnya Twin Flame. Kamu percaya
belahan jiwa?”
“Wah,
terimakasih.” Dini menyambut buku itu, ditaruh ke dalam tasnya.
“Kenapa?
Tidak suka dengan bukunya?”
“Kamu
mirip sekali dengan mantanku.” Dini menatap langit berusaha menyembunyikan
kesedihannya.
“Belahan
jiwa sosok yang membuat kita merasa lengkap.”
“Itu
yang aku rasa Dini. Aku bisa menggantikannya, aku akan menjagamu.” Rawi menatap
lekat, mata mereka bertemu, waktu seolah berhenti.
“Tapi
kita indigo. Indigo tidak boleh Bersama.” Dini mengambil buku di dalam tasnya.
Buku yang berbeda. Buku pemberian mantannya.
“Kamu takut aku seperti dia? Kita memiliki
takdir yang berbeda. Namaku Rawi aku menulis takdirku sendiri.” Rawi memeluk
Dini, Rawi semakin merasakan kepedihan yang selama ini Dini pendam. Rawi
kewalahan menjabarkannya.
Rawi
pulang dengan ketetapan hati. Tak ada yang lebih mengenal Dini selain Rawi. Begitu
sebaliknya. Pelukan dan air mata menjawab semuanya. Kesedihan itu sudah
berlalu, sudah menjadi masa lalu. Kini mereka menuliskan kisah baru dalam
lembaran bahagia.
Gerimis
mengiringi perjalanan, Rawi memacu motornya dengan hati-hati. Angin semakin
kencang, pohon-pohon bergelayut menumbangkan ranting dan daunnya. Malam minggu
terasa syahdu. Jalanan tidak seramai biasanya. Kepedihan Dini masih bisa
dirasakan Rawi. Tangan Rawi gemetar. Rawi berhenti menenangkan diri. Ketika itu
sebuah truk dari arah berlawanan menabrak pembatas jalan lalu berguling
mengenai motor Rawi. Tubuh Rawi terpental jauh. Orang-orang menghampirinya.
Tubuhnya penuh darah, pandangannya mengabur. Ratapannya memanggil Dini.
Nov, 2021