Latihan Menulis


Laptop ini menatapku dengan keji, kursornya berkedip-kedip mengintimidasi. Beberapa kali aku gagal memulai. Setiap ada ide yang datang, akan lenyap ketika menatap layar. Betapa menyiksanya. Aku mencoba mengalihkan perhatian, pura-pura cuek seperti anak kecil yang ngambek. Berharap ide itu datang dengan sendirinya. Beberapa buku cerpen favorit aku ambil dari rak buku. Tanah Letung aku baca sekali lagi, beberapa halaman aku buka acak. Belum berhasil, aku ambil buku tulis catatan dagang istriku, aku coret-coret. Hal itu aku lakukan berulang-ulang, tanpa sadar aku habiskan jam pulang kerjaku dengan sia-sia.

Menulis menjadi sesuatu yang membuat putus asa. Padahal masih teringat semangatku 2 minggu lalu ketika mengikuti workshop menulis. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat. Kata-kata bijak Pramoedya Ananta Toer yang mengispirasiku ketika di panti asuhan dulu masih aku pegang. Ternyata semangat itu tidak bertahan lama. Kata-kata motivasi dari pemateri seperti tak berarti lagi. Materi latihan sudah terlupakan. Menentukan tokoh, sudut pandang, alur, dialog. Ah, bahkan ide menulispun belum ada.

Mengawali menulis, rasanya akan mudah. Tetapi ketika memulai, menulis itu susah. Susahnya minta ampun. Aku ngedumel sendiri. Ah, mungkin saja karena belum diawali dengan doa. Doa adalah hal yang paling keren untuk memulai sesuatu termasuk menulis. Aku menirukan kata-kata pemateri waktu ini. Hari mulai gelap, aku buka pintu kamar mencari cahaya, mencari udara segar. Aku lempar pandangan ke depan, melihat dapur yang posisinya berhadapan dengan ruang tamu. Aku lihat istriku sedang sibuk membuat kue, dibantu oleh Ananta, anakku. Melihat mereka sibuk cukup memberi perasaan senang.

“Bu, bikinin teh ya!” Efek penat akan asyik jika aku ikut ngerepotin istri, hitung-hitung melampiaskan kekesalan.

 “Sudah selesai ceritanya? Mandi dulu Pak! Biar seger badannya. Nanti ibu bikinin teh.”

“Ya Bu, sudah pertengahan, sudah mau ending.” Rencanaku gagal membuatnya repot, pertanyaanya malah membuatku berbohong.

“Baguslah Pak, dari waktu ini katanya nyari-nyari ide belum ketemu. Bapak menulis tentang apa?”

“Bapak mau menulis tentang sejarah Bu, tentang raja Bali, raja Airlangga.” Aku jawab dengan asal, mengingat aku suka mengoleksi buku sejarah. Perasaan bersalahku bertambah. Aku memang tidak berbakat berbohong.

 “Pak, boleh laptopnya saya pinjam. Saya baru ingat belum mengirim tugas ke gurunya.” Anakku datang tidak terduga. Membuatku tidak berkutik. Kebenaran akan terungkap.

“Ah, Bapak bohong Bu. Layar kerjanya masih kosong gini.”

“Hehe, bapak sudah dapat idenya. Tapi belum diketik saja.”

Kewibawaanku luntur Anak dan Ibu memang suka bekerja sama menjatuhkan kekuasaanku. Aku tertunduk, kali ini berusaha jujur.

“Bapak ingin kayak Pak Yuditeha seorang Tukang Cukur dia tetap menjadi penulis. Bapak juga ingin menjadi penulis walaupun masih jadi pegawai toko.”

“Hehe ya Pak. Ibu masih ingat cerita masa kecil Bapak. Tidak ada kata terlambat untuk memulai Pak. Semangat ya, kami selalu mendukung. Mandi dulu Pak biar idenya lancar!” Istriku datang membawa handuk. Kata-katanya membuatku ke kamar mandi tanpa paksaan.

Mandi adalah pekerjaan yang biasanya susah aku lakukan. Seringkali kita berdebat sengit hanya untuk mandi. Kepenatan selama di toko berpadu dengan kepenatan menulis cerpen, memaksaku mandi lebih dini. Aku nyalakan shower dengan kencang, mirip iklan shampoo aku mengguyur kepalaku. Aku teringat kata-kata istriku. Menulis adalah mimpi masa kecilku. Mimpi yang semakin sulit diwujudkan semenjak kehilangan kedua orang tuaku.

Aku tinggal di panti asuhan sejak itu aku bertemu istriku. Sosok yang gemar membaca, kita sering kali menghabiskan waktu di ruang baca. Saling menceritakan mimpi. Dia ingin membuat toko kue. Aku ingin menjadi penulis. Menulis menjadi penghiburanku. Guru di panti memuji karena imajinasiku yang bebas.

Setelah dewasa kami memutuskan meninggalkan panti. Kami menikah dan mengontrak sebuah rumah. Beberapa buku di panti diijinkan aku bawa. Buku Pramoedya Ananta Toer adalah hadiah pernikahan kami. Hidup menjadi tanggung jawab kami. Istriku membuka warung di depan kontrakan kami. Aku bekerja sebagai pegawai toko roti. Aku hampir melupakan mimpiku.

Dulu menulis begitu menyenangkan. Masa kanak-kanak yang tanpa beban. Mengapa aku tidak menulis tentang cerita anak-anak saja? Menulis dongeng misalnya. Menulislah sesuatu yang dekat dan membuat kita nyaman. Wah wah aku menemukan ide. Serendipity, penemuan tak terduga. Aku meloncat kegirangan. Tak ubahnya Archimedis aku meneriakkan “Eureka”.

Aku putuskan menulis dongeng. Aku akan mengemas cerita Raja Airlangga ke dalam dongeng. Dongeng adalah pengingat masa kecilku, sekaligus bisa menjadi jalan kepenulisanku. Aku semakin bersemangat menulis.

Latihan menulis pertamaku berhasil setidaknya menumbuhkan gaya kepenulisanku. Aku semakin semangat mengikuti latihan menulis terutama  menulis dongeng. Aku menulis dimana saja ketika ada waktu luang. Di tempat kerja aku selalu membawa catatan kecil untuk mencatat ide yang muncul. Ketika teman kerjaku menghabiskan waktu istirahat mereka dengan tidur, aku mengisinya dengan menulis. Sore adalah momen terbaik untuk menulis, aku bisa meminjam laptop anakku. Menulis memerlukan kegigihan.

“Pak, gimana hasil lomba menulisnya?” Istriku bertanya sembari memberikan handuk.

 “Hehe dapat sertifikat keikutsertaan.” Aku tersenyum menunjukkan sertifikat onlineku.

“Hore, dapat traktiran bakso.” Anakku menimpali.

“Bu, bapak berhenti kerja saja ya? Uang tabungan kita sudah cukup untuk membuka toko kue.”

Oktober, 2021

Sutarjana


Postingan Populer