Kisah Kebo Iwa Part 1
Lahirnya Kebo Iwa Sang Putra Bali Yang Istimewa
Kerajaan Bedahulu adalah salah satu
kerajaan yang pernah berdiri di Bali. Kerajaan ini dipimpin oleh Sri Astasura
Ratna Bumi Banten yang artinya permata yang perkasa dari Bali. Berkat kepemimpinannya
masyarakat Bali hidup sejahtera. Mereka sebagian besar bekerja sebagai petani
mengolah sawah yang airnya bersumber dari Sungai Pakerisan. Sungai Pakerisan
adalah sungai yang disucikan yang asal-usulnya bersumber dari cerita Mayadenawa
leluhur raja Bedahulu.
Aliran sungai Pakerisan telah
memberikan kesuburan untuk tanah Bedahulu. Rakyat banyak membangun pemukiman di
sekitar sungai. Salah satunya adalah Sri Karang Buncing, dia hidup bersama
istrinya. Sudah lama mereka tidak dikarunia seorang anak. Penghasilan yang
dikumpulkan dari mengolah lahan kerajaan seperti tidak ada artinya. Istri Sri
Karang Buncing sering mengeluhkan itu kepada suaminya namun pada akhirnya
mereka hanya bisa berserah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Masyarakat Desa Bedahulu adalah
pemeluk agama Hindu yang taat. Setiap bulan purnama kerajaan menggelar upacara
di Pura Gaduh. Pura Gaduh adalah pura terbesar di kerajaan Bedahulu. Sri Karang
Buncing menghaturkan sebagian hasil dari sawah yang diolahnya berupa beras,
kelapa, pisang, dan jagung. Sri Karang Buncing memang terkenal sebagai warga
yang senang beramal.
Upacara di pura Gaduh memberi berkat
sendiri bagi Sri Karang Buncing. Istrinya ternyata mengandung, kebahagiaan Sri
Karang Buncing tidak terkira. Sri Karang Buncing bekerja lebih giat lagi
mengolah tanah kerajaan. Sehingga semakin banyak hasil yang bisa dia
persembahkan ketika upacara di Pura Gaduh. Sebagian hasilnya akan dia kumpulkan
untuk membesarkan anaknya.
Beberapa bulan kemudian istri Sri
Karang Buncing melahirkan seorang putra. Tepat di hari tilem atau bulan mati.
Sri Karang Buncing ketika itu sedang membajak sawah dengan kerbaunya. Mendengar
kabar bahagia itu Sri Karang Buncing bergegas pulang. Anak itu diberi nama Kebo
Iwa.
Kebo Iwa tumbuh besar dan kuat,
selera makannya sangat tinggi. Sri Karang Buncing sampai kewalahan menyiapkan
kebutuhan anaknya. Penghasilan yang dikumpulkannya bertahun-tahun segera habis.
Sri Karang Buncing bekerja dengan keras demi membesarkan anaknya. Ibunya sering
berhutang kepada tetangga untuk membeli beras.
Kebo Iwa tidak seperti anak
kebanyakan, mungkin karena lahir dari berkat Pura Gaduh. Badannya tinggi besar
itu membuatnya segera bisa membantu ayahnya bekerja. Kebo Iwa sadar sudah
menyusahkan orang tuanya, dia pun lebih banyak bekerja dari pada bermain dengan
teman sebayanya.
Setiap sore Kebo Iwa menemani
ayahnya memandikan kerbau-kerbau. Dia pun bertanya kenapa dia diberi nama Kebo
Iwa. Ayahnya menjawab kerbau adalah binatang yang sangat berjasa bagi petani.
Kerbau binatang yang kuat dan penurut. Ayah ingin Kebo Iwa bisa meniru sifat
kerbau itu kuat dan banyak menolong orang.
Sri Karang Buncing menasihati Kebo
Iwa supaya tidak malu dengan kondisinya. Badannya yang tinggi besar sering
menjadi bahan olok-olokan temannya. Ayahnya berpesan supaya Kebo Iwa tidak
membalas perlakuan temannya. Kebo Iwa harus rajin belajar menunjukkan prestasi
adalah cara yang tepat untuk membalas olok-olokan temannya.
Setiap malam Kebo Iwa belajar
bersama ibunya ia senang belajar ilmu alam. Belajar sambil mengamati lingkungan
sekitar. Kebo Iwa senang melihat bulan dan menyadari bentuk bulan yang
berubah-ubah. Dia mencatat perubahan itu terjadi berselang 15 hari. Bulan dalam
kondisi penuh disebut dengan bulan purnama. Bulan dalam kondisi kosong disebut
dengan bulan mati atau Tilem.
Ibu mengajari Kebo Iwa ilmu Wariga
atau perhitungan hari baik dalam agama Hindu. Umat Hindu tidak hanya merayakan
upacara setiap Purnama dan Tilem. Ada perhitungan lainnya yang terdapat dalam
ilmu Wariga. Perhitungan itu adalah Wara, Wuku, Sasih dan Tahun Saka. Wara
perhitungannya dalam 1 hari, Wuku dalam 1 minggu atau 7 hari, dan Sasih
perhitungan bulan. Pergantian Tahun Saka dirayakan dengan hari raya Nyepi.
Kebo Iwa bertanya apakah ada
hubungan hari kelahiran dengan warna kulit. Kebo Iwa mengira kulitnya hitam
karena lahir pada bulan mati. Ibunya tersenyum melihat kepolosan Kebo Iwa.
Ibunya menjawab itu karena turunan ayahnya yang berkulit hitam. Kulit yang
sebagian besar dimiliki oleh petani atau kaum Sudra.
Semakin hari ibu semakin kesulitan
menjawab rasa ingin tahu Kebo Iwa. Dia ingin menyekolahkan Kebo Iwa. Akan
tetapi orang dari Sudra Warna tidak boleh bersekolah ketika itu. Masyarkat Bali
dibedakan ke dalam Catur Warna, Catur Warna adalah pembagian struktur masyarakat
berdasarkan profesi. Sudra Warna adalah susunan masyarakat yang berprofesi
sebagai petani dan buruh. Ketika itu yang boleh belajar adalah golongan
Brahmana dan Ksatria. Brahmana adalah golongan orang suci dan Ksatria adalah
golongan raja.
Ibu
Kebo Iwa pergi ke sebuah sekolah yang dipimpin oleh Ki Soma Kepakisan. Sekolah
itu hanya menerima kaum Brahmana dan Ksatria menjadi muridnya. Ibu memohon
supaya Kebo Iwa diterima, namun ditolak. Ibu disuruh pulang, namun ibu menolak.
Ketika
orang sibuk bekerja di dapur, Ibu Kebo Iwa ikut membantu. Begitupun pekerjaan
lain seperti menyapu, bertani, memberi makan sapi. Semua dikerjakan sampai
berhari-hari. Melihat kesungguhan ibu, Ki Soma Kepakisan luruh hatinya. Kebo
Iwa diijinkan bersekolah namun harus melewati tes.
Ibu
Kebo Iwa pulang dengan senang hati. Kebo Iwa mendatangi ibunya menanyakan
kenapa ibu tidak pulang-pulang. Sambil menangis ibu memeluk Kebo Iwa dan
mengatakan bahwa dia sudah bisa bersekolah. Kebo Iwa anak istimewa dia pasti
mampu melewati tes masuk sekolah Ki Soma Kepakisan.