Menulis Cerpen Tema Harapan

Anak Pingit

 

            Aku membanting pintu dengan keras, tak kupedulikan omelan ayahku yang masih kudengar walau pintu tertutup. Aku melempar tubuhku ke kasur, berteriak sekeras yang aku bisa. Aku tak mengerti mengapa ayahku begitu keras. Hari ini malam minggu seharusnya dia mengendurkan sedikit aturannya. Aku dilarangnya keluar rumah, dia menyuruhku belajar demi mendapatkan kampus impianku.

            Aku memang tak seperti teman sebayaku yang lain. Ibuku sudah meninggal sejak aku lahir. Ayahku tak cukup memberiku kasih sayang. Ia lelaki kaku dan otoriter mungkin karena kehilangan sosok yang disayanginya. Kesedihannya dilimpahkan ke aku yang sesekali menjadi amarah. Dia ingin aku sukses dan itu menjadi pembenaran untuknya bersikap keras kepadaku.

            Sesekali dia mengajakku ke panti jompo mengunjungi sosok wanita yang tidak aku kenal. Aku tak menemukan jawaban dari ayahku. Dia hanya bilang kelak ketika aku sukses aku akan mendapat jawaban. Namun diam-diam aku mencari informasi dari petugas panti jompo. Wanita itu tidak punya keluarga, dia dibawa ayahku karena suaminya meninggal.

            Teman-teman sering meledekku karena aku terlalu takut dengan ayahku. Bukan takut ini lebih karena rasa sayangku. Aku satu-satunya yang ayah punya. Walau aku tak pernah merasakan kasih sayangnya. Dengan menjadi anak pingitnya aku menghibur kesedihannya. Aku juga membalas jasa ibuku yang sudah berkorban nyawa untuk melahirkanku.

            Ayah masih punya perasaan, walau bukan untukku tapi itu dia tunjukkan kepada ibu di panti jompo. Wajahnya berubah menjadi penuh kasih ketika menemui ibu itu. Tangannya menggenggam tangan ibu itu yang membuatnya semakin menangis. Kepedulian ini yang membuatku sedikit terkesan dengan ayah. Walau dia keras kepadaku tetapi di lembut kepada ibu itu. Aku menduga ibu itu punya hubungan dengan kematian ibuku. Entahlah aku masih menduga-duga.

            Di ruang khususnya aku menemukan kliping koran tentang peristiwa kecelakaan. Aku membaca tentang berita kematian seorang pengendara karena mengalami penjambretan. Kliping itu tertempel di dinding penuh lukisan. Aku juga melihat kotak yang tergembok. Kotak yang dilarang untuk dibuka. Kata ayah masih sama setelah aku bekerja dia akan memberikan kotak itu. Aku mengiyakan namuin diam-diam aku mencari sendiri dimana kunci itu disembunyikan. Aku membuka setiap laci dan sudut ruangan namun tak aku temukan kunci itu. Aku menyerah, aku putuskan pergi ke kamarku dan belajar.

            Ayah nampaknya tahu usahaku mencari kunci gembok. Dia cukup teliti melihat perubahan posisi kotak dan beberapa barang. Dia membentakku menyebutku anak yang kurang bersabar. Sekali lagi dia mengulangi kata-kata yang sudah bosan aku dengar. Aku tak tahan menahan isak tangisku. Mengapa ayah tidak seperti ayah yang lain. Mungkinkah aku bukan anak aslinya. Sehingga dia begitu keras kepadaku. Dia menyuruhku pergi. Ayah berdiam diri di kamar khususnya. Aku tidur menahan kesedihan.

            Besoknya aku melihat ayahku lebih murung. Aku iba melihatnya jadi aku menyapanya. Namun dia tetap murung. Aku meminta maaf karena tidak mematuhi kata ayah. Dia mengantarku ke sekolah seperti biasa. Semalam aku memutuskan untuk lebih bersabar. Tugasku sekarang adalah belajar untuk mendapatkan tempat kuliah yang aku inginkan. Hingga nanti waktu yang diarasa ayah tepat aku mendapatkan apa yang ingin aku tahu.

            Ayah mungkin terkesan dengan perubahanku. Tumben dia mengajakku keluar kali ini tidak ke panti jompo. Setahuku ayah mengajakku keluar kalau tidak untuk sekolah ya pergi ke panti jompo. Dalam perjalanan kami hanya diam. Aku menduga-duga kemana akan diajak pergi. Mungkinkah dia mengajakku ke restoran, mall atau bioskop seperti yang dilakukan ayah kepada anaknya. Dugaanku hampir benar dia membawaku ke toko musik. Kata-katanya singkat aku disuruh memilih biola yang aku suka. Astaga dimana ayah tahu aku senang bermain musik. Aku hampir tidak bercerita di sekolah aku ikut ekstrakurikuler apa atau punya grup band.

            Anggapanku tentang ayah selama ini salah. Dia memperhatikanku dengan caranya. Dia tahu mimpiku untuk kuliah music di Singapura. Dia tahu tanpa pernah bertanya kepadaku. Yang sering aku dengar dia bekerja untukku. Aku harus sukses dan mendapatkan pekerjaan. Dukungan ini sudah lebih dari cukup untuk mewujudkan mimpiku. Tidak terlalu susah, aku hanya perlu belajar dan belajar.

            Waktu berlalu dan aku merasa tidak ada hambatan berarti untukku. Ayah mendukung semua usahaku. Hubunganku pun semakin dekat. Aku mulai memahami sifat ayahku. Di balik sifatnya yang keras terkandung kasih sayang yang tinggi kepadaku. Aku menyelesaikan kuliahku dan memperjuangkan mimpiku menjadi musisi. Hampir setiap konserku ayah berada di bangku terdepan untuk menontonku. Waktu berjalan dengan cepat ketika aku putuskan untuk mengalir bersamanya. Aku hampir melupakan tentang kebenaran ibuku. Dan kotak misterius itu.

            Kali ini ayah menjemputku di bandara. Ayah sedang cuti kerja. Sebenarnya aku sudah bilang kalau kekasihku bisa saja menjemputku. Tapi aku kaget ayah datang bersama pacarku. Ayahku memang misterius sangat sulit ditebak. Kekagetanku berlanjut karena ayah terlihat akrab dengan pacarku. Dan belum selesai kekagetanku karena aku dibawa ke lembaga permasyarakatan. Memang susah untuk mengerti jiwa seni ayahku. Tapi aku semakin menyayanginya.

            Aku berjalan menyusuri lorong narapidana. Kami diantar oleh petugas lapas. Aku mengobrol dengan pacarku untuk menyembunyikan ketakutanku. Aku sama sekali tidak bertanya kepada ayah mengapa kita pergi ke lapas. Aku tahu ayah tak akan menjawabnya. Di ujung lorong di sel terakhir kami berhenti. Aku bertemu dengan sosok yang begitu mirip denganku.

            Dialah ayah biologisku begitu aku dengar dari mulut ayahku. Pacarku menopang tubuhku yang hampir terhuyung. Dari roman wajahnya aku menyadari pacarku sudah dahulu tahu fakta itu. Aku tidak sanggup mendengar kebenaran berikutnya. Ayah menyerahkan sebuah kotak yang didalamnya terdapat fotoku berdiri dengan ayah dan ibu bilogis, orang tua sebenarku.

            Orang di dalam sel menangis terisak. Kakinya gemetar bersujud di kaki ayahku. Orang yang berhati mulia. Aku teringat dengan keliping koran di ruang kerja ayahku. Ibu yang meninggal karena menjadi korban penjabretan. Penjambret itu adalah ayahku yang mendekam di tahanan seumur hidupnya. Penjambret itu bercerita dia terpaksa melakukannya karena tuntutan ekonominya. Aku masih kecil juga ibuku yang sakit.

            Ayahku bilang ini saat yang tepat untuk bercerita. Seperti janjinya, aku sudah dirasa siap. Sudah bekerja, sudah meraih mimpiku. Tanganku gemetar tangisku pecah. Betapa berdosanya aku sempat membenci sosok yang begitu mulia hatinya. Yang rela menjadi sosok yang dibenci supaya aku tekun belajar mewujudkan mimpiku. Sosok yang mengenalkanku dengan pasangan hidupku. Aku memohon untuk tetap menjadi anaknya. Dia mengangguk dan tersenyum tulus.

Postingan Populer